Tiga orang wanita keluar dari lift di lantai tiga, menyisakan mereka berdua di dalamnya. Kana melirik Fritdjof yang berdiri tenang sambil memegang ponsel. Lift bergerak ke atas dan berhenti sebentar di lantai empat. Kana menggigit bibir bawahnya sebelum menggumamkan nama Fritdjof.
"Fritdjof...."
"Yes?" Tentu saja Fritdjof mendengar suara pelan Kana, suara jarum jatuh juga terdengar dalam suasana sehening ini.
"Thank you." Terlepas dari ketidaksukaan Kana terhadap caranya dan Fritdjof memulai pertemanan, Kana tetap ingin berterima kasih karena Fritdjof menyelamatkannya yang hampir pingsan di jalan sore itu.
"Anytime, Sunshine." Fritdjof tersenyum sendiri mendengar dirinya memanggil Kana ... sunshine?
Setelah kenal dengan Kana, Fritdjof merasakan semangatnya kembali bangkit. Dia bersemangat pergi ke kantor hanya karena ingin melihat gadis itu tersenyum, walaupun bukan untuknya. Hatinya mendadak dipenuhi dengan harapan, mungkin Kana adalah jawaban yang dicarinya selama ini. Jawaban yang tidak ditemukannya di Copenhagen dan membuatnya merantau sampai jauh ke negara ini.
Sementara itu Kana menundukkan kepala. Pipinya terasa panas mendengar suara Fritdjof, kalau ini adegan dalam komik, ada garis-garis di pipi yang menandakan si tokoh sedang tersipu-sipu. Suara Fritdjof juga membuat hatinya menghangat dan melayang.
Ding!
Lift berhenti di lantai lima.
Saved by the bell. Kana mengembuskan napas lega dan melangkah cepat menuju ruangannya sedangkan Fritdjof berjalan di belakangnya.
"Al!" Teriak Kana ketika melihat Alen berjalan keluar dari kamar mandi.
Seperti biasanya pula, Kana langsung sibuk berceloteh, kali ini membahas tentang persiapan pernikahan Alen dan Kira.
Fritdjof memandang keduanya dengan tatapan tidak suka.
"Dammit, back to square one," umpat Fritdjof dalam hati.
***
"Sunshine?" Kana menggumam dalam hati. Kana tidak suka dengan panggilan-panggilan centil seperti itu. Dia tidak suka setiap mantan-mantan pacarnya memberinya pet names: babe, honey, sweety, dan sejenisnya. Itu membuatnya merasa seperti anak umur belasan dengan cinta monyetnya. Tapi saat Fritdjof memanggilnya Sunshine, Kana tidak merasa itu centil, tidak sama sekali. Fritdjof seperti mengatakan itu, because he meant it. As if she was his sunshine.
"Bukan kerja, bengong terus." Suara Alen mengusik Kana yang sedang termangu memikirkan Fritdjof.
"Programming is thinking, not typing." Kana kembali berusaha meletakkan jari-jarinya di atas keyboard, meskipun otaknya sedang tidak ingin berpikir.
Kana paling suka bengong di depan komputer, jadi setiap ditanya orang, Kana bisa selalu melemparkan alasan yang sama. Programming tidak melulu tentang sibuk mengetik barisan code-code yang begitu membosankan. Bengong dan memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah yang harus diprogram itu jauh lebih penting. Tapi Alen sudah hafal sekali dengan alasan Kana itu.
Dan Alen benar. Kali ini yang dipikirkan Kana tidak ada hubungannya dengan programming. Hanya Fritdjof yang mengisi kepalanya sedari pagi. Anytime, Sunshine. Satu kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Ini sungguh tidak masuk akal, dia terbuai oleh dua kata itu.
Dalam pemrograman, orang-orang harus menyelesaikan segala persoalan menggunakan logika. Akhirnya ini menjadi kebiasaan bagi banyak programer seperti Kana. Lebih mengedepankan kepalanya daripada hatinya dalam menyikapi setiap masalah. Sayangnya, begitu dihadapkan pada masalah cinta, logika tidak ada gunanya. As the saying goes, heart wants what it wants. There is no logic to this thing. People meet someone and fall in love and that's that.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANISH BOSS
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Sebuah perjalanan dari belahan bumi utara menuju khatulistiwa, untuk mencari cinta. Berhasilkah ia mendapatkannya? *** Fritdjof Moller menempuh jarak lebih dari 11.000 kilometer, untu...