Pada hari pertama ini, penampilan bos barunya memang terbilang sangat rapi. Kemeja biru lengan panjang dan celana abu-abu. Rambutnya—warnanya seperti chesnut—juga rapi. Tidak ada rambut di wajahnya, hanya ada jejak gelap, bekas shaving, di rahangnya. Hidung panjang, mata biru, seperti orang-orang kulit putih lain jelas terlihat berbeda di sini. Pantas saja cewek-cewek di kantornya tidak bisa memalingkan wajah dari wajah atasan baru Kana.
Dulu hari pertama Dinar datang bergabung dengan tim mereka, anak itu juga rapi dan terawat. Tapi sekarang sudah berbeda. Agak berantakan dan kurang terurus. Kana sering mencandai gerombolan si berat itu agar segera menemukan pasangan yang bisa memperhatikan dan mengurus mereka, jangan hanya sibuk bekerja.
"Hanya orang-orang yang diberkati Tuhan yang bisa melakukan dua hal tersebut bersamaan." Pendapat Dinar mengenai gagasan bekerja sekaligus menemukan pasangan. Jawaban yang sukses membuat Kana tertawa.
"Dating is harder than programming." Ini menurut Alen.
Kana sepenuhnya setuju dengan alasan mereka. Kata banyak orang, programer paling hebat di dunia juga kesulitan mengajak seorang gadis untuk sekadar duduk bersama di kedai kopi. Kelihatannya programming skill itu sesuatu yang bisa dipelajari di kampus atau secara mandiri di waktu luang. Sedangkan dating skill tidak diberikan oleh Tuhan kepada sembarang orang.
Ada kata-kata Raina tadi mengenai status bosnya yang masih single. Mungkin dia sama saja dengan Dinar, Alen dan yang lainnya. He doesn't know how to score a girl.
Well, terima kasih untuk orang-orang yang menyematkan geek image kepada mereka, sehingga mereka ada di urutan kesekian dalam antrian bursa jodoh. Orang seperti Alen dan Dinar mungkin kurang menarik bagi banyak wanita, dibandingkan dengan dokter atau pengacara. Padahal sekali mereka jatuh cinta pada wanita, mereka akan memperlakukan wanita seperti vas bunga buatan Cina. Hati-hati sekali, seolah satu sentuhan saja akan membuatnya pecah berhamburan. Tidak perlu berjuang untuk merebut perhatian karena saingannya hanya komputer. Tambahan lagi, karena programer bukan orang yang gampang bosan, maka bisa jadi mereka akan terpesona dalam waktu yang sangat lama.
Tapi bagi Kana sendiri, selain karena mereka banyak uang—their job are one of the highest paying ones in the world—Kana belum bisa menemukan alasan lain untuk mengencani laki-laki dari kalangannya sendiri. Berkencan dengan sesama programer sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.
Kana duduk di workstation-nya, saat menoleh ke sebelah, ada Alen yang sedang menatap layar komputernya, lalu tiba-tiba berdiri dan membuat kursinya terdorong ke belakang.
"Kopi?" Alen memandang Kana dan langsung dijawab dengan anggukan antusias oleh Kana.
Alen dan Kana akan masu lift ketika Fritdjof keluar dari sana pada saat bersamaan. Setelah mengamati wajah Kana, tatapan Fritdjof jatuh pada tangan Kana yang masih menarik-narik bagian belakang lengan kemeja Alen. Sejak tadi Kana sibuk menyuruh Alen memperlambat langkahnya. Kana dan her killer heels kesulitan mengikuti langkah panjang-panjang Alen. Sadar diperhatikan atasannya, Kana langsung melepaskan tangannya dari lengan Alen.
"Kalian mau ke mana?" tanya Fritdjof
Pertanyaan yang membuat Kana memutar bola mata, mau ke mana saja sepertinya bukan urusan laki-laki itu. Cara bertanyanya seperti guru yang memergoki muridnya yang akan membolos.
"Kopi. Anda mau ikut?" Alen malah menawari.
Fritdjof tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum mengiyakan ajakan Alen, membuat Kana mengeluh dalam hati. Ada perasaan aneh dalam dirinya ketika bertemu laki-laki ini.
Karena Fritdjof bilang setuju, maka Kana hanya bisa mengikuti mereka ke dalam lift dalam diam. Kana kurang suka dengan kebiasaan laki-laki ini memandanginya.
***
Kana langsung duduk, tidak mengikuti Alen dan Fritdjof yang bergerak untuk memesan kopi. Alen atau Luke sudah tahu apa yang selalu diminum Kana setiap datang ke coffee shop di sayap kanan lobi gedung tempatnya bekerja.
"Hai, Al, Kan." Luke, barista favorit mereka menyapa dari balik konternya, yang dibalas Kana dengan senyum ramah.
Jari Kana mengetik pesan pada Dinar, menanyakan apa mereka semua ingin sekalian dibelikan kopi. Kebaikan Kana, mengingat gerombolan si berat jarang sekali mau meninggalkan tempat duduk. Pantat mereka seperti sudah menancap di kursi. Tidak berbeda dengan Kana dan Alen, mereka juga mengidap caffein addiction. Akut. Walaupun ada kopi hitam di pantry, tapi mereka tetap suka membuang uang dengan beli kopi di sini.
Alen dan Fritdjof duduk bersebelahan di depan Kana. Sementara Kana pura-pura sibuk dengan ponselnya, menghindari tatapan mata bosnya yang sudah pasti mengamatinya.
"Pulang jam berapa, Kan?" Pertanyaan Alen ini mau tidak mau membuat Kana menatap ke arah Alen. Ke arah dua laki-laki yang duduk di depannya.
Dan tepat seperti yang sudah diduga Kana, bosnya sedang menatapnya. Ini mengherankan sekali. Ada apa dengan wajah Kana? Rasanya tidak ada yang salah. Untuk memastikan itu, bahkan Kana sudah mengecek wajahnya tadi di kamar mandi. Alisnya baik-baik saja. Eyeliner-nya juga tidak melebar.
Tatapannya membuat Kana jengah, walaupun Kana berusaha bersikap wajar. Kana menyibakkan rambutnya ke belakang, berusaha membuat dirinya sedikit lebih rileks.
"Jam enam mungkin. Kamu ke rumah nanti malam?" Malam ini Alen akan pergi bersama Kira, kakak Kana. Mereka berdua memang berhasil mengungkapkan perasaan masing-masing berkat campur tangan Kana.
"Bisa iya bisa tidak," jawab Alen.
"Kalau iya, bawa piza ya." Kana memesan pajak kunjungan kepada Alen.
Kana sama sekali tidak menyadari tatapan mata bos barunya kini menyiratkan banyak pertanyaan.
Oh, Kana bahkan belum tahu siapa nama atasan barunya.
***
Fritdjof memandang kosong layar komputernya. Sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan ini? Tujuh tahun? Atau lebih? Sampai hari ini, dunia pemrograman masih identik dengan dunia laki-laki. Alasan Fritdjof memilih bidang ini, salah satunya karena dia tidak ingin terlalu banyak berurusan dengan wanita. Sebagian besar waktunya dihabiskan bersama software developer, programmer, software engineer dan siapa saja, yang berhubungan dengan bidang ini, yang sebagian besar adalah lakilaki.
Departemen lain mungkin memiliki banyak karyawan wanita, tapi dia tidak sering berinteraksi dengan mereka. Terakhir kali berurusan dengan wanita, hidupnya berubah menjadi bencana.
Beberapa perusahaan ada yang jelas-jelas menyebutkan tidak menerima programer wanita. Tetapi tetap banyak perusahaan yang menerima dan banyak programer wanita yang melamar. Stereotype yang berlaku, baik kepada programer laki-laki dan wanita, adalah sama. Wanita-wanita dan para laki-laki tersebut dilabeli geeky, anti sosial, serta kurang memperhatikan penampilan.
But that isn't always the case. Ada satu pengecualian di tim ini, Fritdjof melihatnya hari ini. Satu kata yang langsung tergambar di kepalanya ketika melihat gadis itu adalah cantik. Gadis itu memakai celana berwarna putih, membungkus kakinya yang ramping dengan sangat pas. Inner dan blazer hitam juga sepatu berhak sangat tinggi berwarna hitam. Penampilannya lebih terlihat sebagai sekretaris direktur daripada seorang programer.
Rambut hitamnya tebal dan panjang mencapai punggung, dibiarkan tergerai dengan ikal di ujungnya. Beberapa kali gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Beberapa kali pula dia harus menghilangkan keinginannya untuk menyelipkan jemarinya di rambut tebal dan indah itu. Fritdjof ingin sekali menatap lekat-lekat bola matanya yang juga berwarna hitam.
Saat gadis itu tersenyum kepada Alen, salah satu senior di timnya, Fritdjof bisa melihat lesung pipit di kedua pipi wanita itu. Sempurna.
Gadis itu datang terlambat tadi pagi dan membuat Fritdjof kesal. Keterlambatan adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Dalam budayanya, budaya yang dibawa dari negaranya, terlambat sama dengan tidak sopan. Plus, dia tidak suka melihat orang yang ingin dimaklumi. Setelah teguran kerasnya tadi, dia mengira gadis itu akan mendatanginya secara pribadi di ruangannya ini dan merengek agar dimaafkan. Dia banyak menjumpai wanita yang seperti itu, memanfaatkan kecantikannya untuk mengambil hati atasannya. Tapi sampai selepas makan siang, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan masuk ke ruangannya.
Kana. Begitu gadis itu tadi memperkenalkan namanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANISH BOSS
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Sebuah perjalanan dari belahan bumi utara menuju khatulistiwa, untuk mencari cinta. Berhasilkah ia mendapatkannya? *** Fritdjof Moller menempuh jarak lebih dari 11.000 kilometer, untu...