NI

50.2K 4.2K 41
                                    

"Fritdjof." Cepat-cepat Kana menarik lengannya. "Jangan," mohonnya, mencegah Fritdjof melakukan sesuatu yang akan disesalinya nanti.

"Kita pergi, please." Kana kembali memohon.

Melihat mata Kana berkaca-kaca, Fritdjof memejamkan matanya sebentar, mencoba menahan emosinya lalu membawa Kana berjalan meninggalkan laki-laki berengsek itu.

"I am sorry." Kana merasa tidak nyaman karena Fritdjof harus bertemu dengan orang itu.

"It's okay."

Kana tidak mengatakan apa pun ketika Fritdjof mengajaknya mengantri di kasir, masih merangkul pinggangnya dan baru melepaskannya ketika mereka sudah berada di mobil.

Tidak ada suara yang terdengar di antara mereka sampai Fritdjof memutuskan untuk membelokkan mobilnya ke restoran Italia di dekat apartemen mereka.

"Kamu pasti sudah tidak ingin memasak," kata Fritdjof.

Kana mengangguk mengiyakan dan mengikuti apa yang dilakukan Fritdjof. Turun dari mobil, masuk ke restoran, duduk, dan diam. Membiarkan Fritdjof mengurus makanan mereka.

Picatta matriasiana untuk Kana, yang dinikmatinya—atau terpaksa dinikmati—dalam diam. Kana tahu bahwa dia seharusnya menjelaskan siapa laki-laki tadi kepada Fritdjof. Walaupun mungkin Fritdjof dengan mudah bisa menebak apa hubungan Kana dan laki-laki tadi, tetap saja Kana merasa bahwa penjelasannya akan membuat semua lebih baik.

"Aku mau pulang sekarang." Kana sudah tidak berselera untuk menunggu hidangan penutup. Padahal biasanya dia suka sekali makan puding dan pana cotta termasuk salah satu favoritnya.

***

Fritdjof membantu Kana mengatur sayuran segar di dalam kulkas. Sebenarnya dia sedikit banyak bisa menduga mungkin sesuatu yang buruk dulu terjadi antara Kana dan laki-laki—sepertinya mantan pacar Kana—tadi. Ego lelaki, Fritdjof mendengus, baru terusik kalau melihat wanitanya sudah bersama dengan laki-laki lain. Mungkin laki-laki tadi adalah laki-laki bodoh yang telah menyia-nyiakan wanita ini. Ironis sekali. Laki-laki tadi menyia-nyiakan Kana, sedangkan dirinya sedang berjuang keras untuk mendapatkan hati wanita ini.

Tapi dia adalah Fritdjof Møller. Tidak pernah ada kata menyerah dalam kamusnya. Mungkin dia tidak berhasil sekarang, tapi dia akan berhasil nanti, sepuluh ribu jam dari sekarang. Fritdjof selalu percaya itu. The ten thousand hours rule.

Gladwell bilang untuk sukses, manusia paling tidak memerlukan usaha dan kerja keras minimal sepuluh ribu jam. Tidak peduli masalah pekerjaan atau cinta, the ten thousand hours rule itu berlaku. Walaupun Fritdjof cukup percaya diri bahwa dirinya pintar, tapi masalah perasaannya pada Kana tidak akan cukup diselesaikan hanya dengan kepintaran. Dan Fritdjof juga tidak bisa menunggu keberuntungan. People have to work hard and try and suffer till the end. It ain't over until it's over.

"Namanya Niel." Akhirnya Fritdjof mendengar Kana bersuara.

Gadis itu kini duduk di depannya, tangannya menggenggam gelas berisi air dingin.

"I loved him. Sampai aku tahu bahwa dia nggak mencintaiku...." Suara Kana bergetar, membuat Fritdjof ingin menutup telinganya. Karena tidak ingin mendengar suara Kana yang sarat kepedihan. "Dia hanya bertaruh dengan teman-temannya untuk mendapatkan kegadisanku." Kana tersenyum pahit mengingat kejadian memalukan itu.

Fritdjof merasa hatinya diremas ketika Kana mengatakan hal itu. Dia juga laki-laki, tapi tidak pernah sedikit pun terlintas dalam otaknya akan melakukan hal sekeji itu. Baginya wanita adalah makhluk yang mulia dan harus selalu dimuliakan—seperti yang dia lakukan kepada mamanya dan adik perempuannya.

"Tapi dia nggak bisa mendapatkannya. Tuhan melindungiku. Aku menjaga diriku dengan sangat baik, dengan bantuan Kira dan yang lain."

Fritdjof sedikit heran karena Kana tidak menyebut nama Alen, bukankah seharusnya Alen menjaga Kana dengan baik, mengingat kedekatan mereka seperti sepasang kekasih?

"Sejak saat itu dia seperti terobsesi kepadaku. Dia berusaha mendekat padaku di mana pun aku berada. Berusaha menyentuhku. Aku sedikit lega waktu dia pergi kuliah ke luar negeri. Sekarang dia udah kembali. The horror has now begun." Sepasang mata indah itu kini dipenuhi ketakutan.

"Aku nggak pernah tahu dia akan muncul di mana. Dia menerorku. Aku sampai harus diam di rumah sepanjang hari karena nggak mau ketemu dia." Kana tertawa getir mengingat masa-masa dia bersembunyi dari laki-laki itu. "Sepertinya dia rugi besar karena kalah taruhan dengan teman-temannya."

Apa yang ada di pikiran si bodoh itu sampai menjadikan pemerkosaan sebagai taruhan? Tentu saja namanya pemerkosaan, karena Niel berusaha mendapatkan dengan paksaan.

"Kenapa kamu berkencan dengan bajingan seperti itu?" Fritdjof heran, seharusnya dengan kecerdasannya, Kana tidak akan semudah itu dibodohi laki-laki.

"Karena aku nggak tahu dia berengsek. Dia itu model laki-laki populer di kampus. Dia pintar, ­kalau nggak pintar dia nggak akan ada di jurusan terbaik di kampusku. Juga ... emm ... dia ... yah ... dia nggak jelek. Nggak ada kabar dia sering berganti-ganti pacar. Tapi siapa sangka...." Kenyataannya Niel tidak pernah punya track-record buruk di kampus, dia dikenal sebagai orang baik dan pendiam.

"Dan kamu bilang kamu mencintainya." Fritdjof menggumam, kurang suka dengan gagasan itu. Kana mencintai orang lain, yang tidak tahu bagaimana memperlakukan wanita dengan benar.

"Itu dulu. Rasa cinta itu sekarang sudah hilang tanpa sisa." Rasa cinta itu lenyap dengan sendirinya seiring dengan muculnya rasa takut dan rasa benci terhadap Niel.

"Kamu tidak pernah melaporkan bajingan itu ke polisi?"

Kana menggeleng.

"Seharusnya kamu melakukannya. Membuat laporan ke polisi. Dia melakukan tindak kekerasan dan memaksakan kehendak kepadamu." Bagaimana bisa Kana membiarkan penjahat itu hidup enak sampai sekarang?

"Aku sempat memikirkan itu, tapi kemudian kupikir aku nggak apa-apa."

"Tidak apa-apa? Kamu terluka. Secara mental dan fisik kamu terluka. Dan apa kamu tidak berpikir bahwa mungkin dia telah atau akan melakukan hal yang sama kepada wanita lain?" Fritdjof memotong kalimat Kana.

"Kamu mungkin benar, Fritdjof."

"Dia yang seharusnya berada di dalam penjara, bukan kamu yang menderita mengurung diri di dalam rumah dan kehilangan kebebasanmu." Seandainya saja dia sudah mengenal Kana pada saat itu, tanpa berpikir dua kali dia akan melaporkan laki-laki itu ke polisi. Fritdjof menyesal dia baru datang sekarang.

Hanya desah napas Kana yang terdengar di dapur kecil itu. Semua yang dikatakan Fritdjof benar.

"Kalau dia sampai bisa menyentuhmu lagi, aku akan memastikan dia meratapi nasibnya di penjara. Setelah aku mematahkan kedua kakinya tentu saja." Suara Fritdjof terdengar penuh anca­­­­m­an­. Sampai Kana bergidik ngeri mendengarnya.

"Aku tidak bisa membayangkan berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk menyembuhkan traumamu itu. Mungkin sampai saat ini belum sepenuhnya hilang." Fritdjof mengamati Kana yang menunduk di depannya, yang masih memegang gelas erat-erat dengan kedua tangannya. Tangan Fritdjof terulur, melingkupi punggung tangan Kana dengan telapak tangannya yang besar.

"I ain't the strongest but I'll protect you."

Sepasang mata bulat itu kini kembali menatap ke arahnya, mengerjap beberapa kali. Fritdjof tahu Kana tidak akan percaya padanya begitu saja. Masih akan perlu waktu bagi Kana untuk memercayainya. Dan Fritdjof akan menunggunya.

***

THE DANISH BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang