Kana tahu bahwa Fritdjof mengamatinya sejak keluar dari lift tadi. Dan mata Fritdjof mungkin melotot, sampai bola matanya hampir copot, ketika melihatnya memeluk Alen. Dia biasa memeluk Alen di mana saja, karena sudah menganggap Alen seperti kakaknya sendiri. Kakak laki-laki yang sejak dulu dia inginkan. Dan Kana tidak keberatan kesalahpahaman terbentuk di kepala Fritdjof. Fritdjof boleh berasumsi semaunya.
"Bisa nggak dikecilin suara musiknya?" Kana melongok ke meja Dinar.
Telinganya sudah sakit mendengar suara musik dari speaker kecil milik Dinar. Biasanya Dinar tidak mendengarkan musik. Tapi tidak tahu ada angin apa, hari ini Dinar tiba-tiba punya speaker dan mendengarkan musik.
"Bisa." Dinar menjawab sambil mengangguk.
Kana kembali duduk dan frustrasi menatap layar kompuetnya. "Damn you," desahnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di meja.
"Dinar! Bisa nggak dikecilin suaranya?" Kana berteriak horor dan membuat empat kepala lain serentak memandang ke arahnya.
"Bisa." Dinar menjawab tanpa merasa terganggu dengan teriakan Kana.
"Itu belum dikecilin." Kana mendelik ke arah Dinar, setelah tidak ada perubahan pada pengeras suara milik Dinar. Meja mereka hanya berbatas kaca tebal, jadi dia bisa melihat bahwa Dinar sama sekali tidak berusaha melakukan apa yang diinginkan Kana.
"Kenapa, Kan?" Kali ini Dinar mengangkat kepalanya dan menatap Kana.
"Suara musikmu bikin stres." Kana histeris.
"Kamu mau ini dikecilin suaranya?" Dinar bertanya sambil menunjuk speaker bulat di mejanya.
"Iya. Dari tadi juga." Kana semakin keki.
"Kamu tadi, kan, tanya bisa nggak dikecilin suara musiknya, ya, bisa. Kenapa aku disewotin? Kalau kamu nyuruh aku kecilin musiknya, bilangnya yang jelas." Dinar mengganti speaker-nya dengan earphone.
"Bah, programmer," maki Kana sambil kembali mendudukkan pantatnya di kursi.
"Memangnya kamu bukan?" Alen menyahuti pertengkaran dua orang temannya, lalu dia tertawa.
Kana merasa kadang-kadang berbicara dengan teman-temannya ini sangat melelahkan. Susunan kalimat tidak boleh rancu, tidak boleh menggunakan kalimat bias dan tidak boleh ada informasi yang tertinggal. Berkomunikasi dengan programer secara verbal ini membutuhkan banyak kesabaran. Like computers do, they take people 100% literally.
"Jangan lupa, ya, nanti jam dua siang sampai jam empat sore meeting. Di lantai tujuh, di ruang rapat A. Meeting-nya soal user requirements untuk software payroll Petro. Materi meeting sudah ada dan bisa diambil di server. Yang dibahas nanti halaman tujuh sampai sepuluh." Hanya untuk memberitahu masalah meeting, Kana harus bicara sepanjang ini.
"Jangan lupa nanti jam dua." Bayangkan jika Kana mengatakannya seperti ini.
"Ngapain jam dua?" Dinar akan menatapnya penuh tanda tanya.
"Meeting."
"Meeting apa?"
"Project baru."
"Project apa?"
"Payroll software."
"Bukannya sudah pernah rapat?"
"Meeting-nya soal user requirements untuk software payroll Petro."
"User requirements yang mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANISH BOSS
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Sebuah perjalanan dari belahan bumi utara menuju khatulistiwa, untuk mencari cinta. Berhasilkah ia mendapatkannya? *** Fritdjof Moller menempuh jarak lebih dari 11.000 kilometer, untu...