Untouchable - The Origin of Love

61 1 0
                                    


"Eh ... gimana? Bentar, kamu ngomong apa barusan?" tanya seorang wanita dengan apron ditubuhnya. Wanita itu sedang memasak sarapan pagi untuk dirinya sendiri. Ia benarkan posisi gawai pada telinganya. Sedari tadi ia berbicara dengan kawan lamanya lewat sambungan telepon via Whatsapp. Diapitnya gawai di antara telinga dan bahu. Ia lirik jam analog yang ada diatas kulkas. Ternyata waktu sudah menunjukan pukul 10.20. Seharusnya ia tidak menyebut dirinya sedang memasak sarapan pagi. Ini bahkan sudah melewati jam coffee break. Ia sedikit meringis, mengingat dirinya yang memang sedikit berantakan dalam segala aspek akhir-akhir ini.

"Kamu yang bener aja, ngajak aku ke Jogja jam tiga sore hari ini. Sedangkan sekarang sudah jam setengah sebelas. Dadakan amat ... ada apa sih?" wanita itu masih menggerutu kesal. Menurutnya ini adalah agenda yang lebih dadakan dari tahu bulat. Setidaknya butuh persiapan secara matang untuk pergi jauh ke suatu tempat. Minimal direncanakan sehari atau dua hari sebelumnya. Tidak dengan hitungan jam seperti ini. Ia menimang kembali tawaran sang teman. Sebenarnya, jika dipikir-pikir yang dadakan justru seringkali jadi daripada yang direncanakan jauh-jauh hari. Well ... sedikit menggiurkan, ajakan field trip ini sungguh langka. Bagaimana tidak, bahkan ia hanya perlu membawa diri dan berangkat secara cuma-cuma alias gratis. Semua biaya ditanggung oleh sang kawan.

"Oke, I see ... jadi kita ketemuan di terminal? Kamu ajak yang lain juga kan? Awas kalau misalnya ga sesuai dengan apa yang kamu omongin yah. See you!" wanita itu tersenyum simpul. Tidak bisa disembunyikan lagi rasa senangnya. Setidaknya ia akan bertemu orang-orang yang berarti dalam hidupnya.

Setelah sekian lama tidak bersua, akhirnya ada juga alasan untuk pergi bertemu. Tak terhitung lagi waktu yang telah terlewati. Rasanya masih tetap saja merindu. Andai saja mereka masih bisa bersama layaknya ombak dan pasir yang bisa selalu berdampingan. Nyatanya kini mereka sudah terpisah. Tidak punya lagi alasan untuk bisa mencapai satu genggaman yang sama.

Segera ia memakan nasi goreng buatannya secepat kilat. Melihat situasi rumah yang cukup sepi membuatnya lebih mudah untuk pergi tanpa harus embel-embel pamit. Bukan sekedar pamit malah, seharusnya ia memohon izin terhadap seseorang yang patut dikatakan sebagai gerbang pintu surga dan nerakanya. Tapi apa mau dikata. Sebagai seorang peminta maaf, bukan peminta izin. Ia bulatkan tekad untuk melangkah keluar rumah tanpa pamit. Sekali ini saja ingin rasanya untuk menghilang. Biar semua tau ada kalanya ia muak dan berada di batas kesabaran yang sudah tak bisa lagi diajak kerjasama. Tersiksa rasanya batin selalu dibawah tekanan. Bagaimana jiwanya selalu meronta meminta pulang entah kemana. Jiwanya selalu berkata ingin berhenti tapi bagaimana selanjutnya? Walau sudah mengistirahatkan diri rasanya deritanya masih saja belum reda.

Setelah selesai makan wanita yang bernama lengkap Wilhelmina Rossie ini segera meninggalkan ruang makan dan bergegas menuju kamar. Membawa satu koper besar, tas gendong, tas jinjing dan tas selempang kecil. Ia ambil baju atasan, kebawahan, jaket dan pakaian dalam sebanyak mungkin. Layaknya orang yang akan pindah kos, ia bawa semua skin care dan make up. Tak lupa juga membawa alas kaki berupa sepatu kets dan sandal jepit. Meskipun ia tahu bahwa Catur akan menanggung semua biaya, tapi ia harus tetap membawa sejumlah uang cash untuk biaya tak terduga.

Seorang Pria yang menelponnya tadi adalah Catur Gusti Purnama, sahabat lama saat ia dulu berkuliah jenjang S-1. Sebenarnya Wilhelmina Rossie yang lebih akrab disapa Oci itu bertemu Catur di UKM RI, kepanjangan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Riset Ilmiah. Mereka mungkin berbeda program studi tapi berada pada satu tim yang sama. Tentu saja mereka tidak bisa berdua dalam melakukan sebuah penelitian ada juga dua pria lain yang juga membersamai mereka.

Sebagai mahasiswa yang berprestasi, Catur memang lebih pesat dari yang lain walau sempat tertinggal. Jadi sebenarnya tidak aneh jika sekarang ia lebih sukses dengan karir yang melejit dan jangan lupa pundi-pundi yang terus mengalir. Sehingga sudah pasti membuat dirinya tajir melintir. Sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat termuda di daerahnya Catur dapat inovasi terbarukan yang membuat orang-orang yang memilihnya tidak menyesal.

It Live!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang