TPMB - 18

2.6K 56 7
                                    

*

"Mas! Mas! Kita harus bicara."

Bram baru saja turun dari motornya. Namun gadis yang ia ingin hindari justru malah memblokir jalannya untuk masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau Bram harus mengahadapi gadis kecilnya.

"Bicara apa?" Tanya Bram dingin.

Hana terperangah mendengar ucapan Bram. "Mas tanya aku mau bicara apa? Nggak salah?"

Laki-laki di hadapan Hana menarik napas dalam. Berhadapan dengan Hana membuat pikiran Bram semakin tidak karuan. Hana semakin berang dengan sikap Bram yang seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka.

"Oke, mas minta maaf. Apa yang terjadi kemarin bukan seratus persen salah mas. Kamu menggoda mas, Hana! Kamu pikir dengan apa yang kamu lakukan kemarin bisa membuat hubungan terlarang ini berlanjut?" Desis Bram.

Ia tidak ingin membuat keributan. Mati-matian ia menahan agar tidak berteriak pada Hana. Berbicara di halaman rumah membuat Bram takut diam-diam eyang menguping.

"Kamu jahat banget, mas! Kamu udah merenggut kep-"

"Kamu yang memintanya!" Potong Bram.

Bram berusaha tidak terpengaruh air mata Hana. Meski nyatanya jauh di lubuk hatinya, ia tidak ingin Hana menangis seperti ini. Bukan hanya Hana yang merasa tersakiti. Sama halnya dengan Hana, Bram juga merasa tersiksa atas kejadian kemarin yang melampaui batas.

"Mas minta, hubungan ini berakhir. Kita nggak bisa seperti ini terus."

"Setelah apa yang kita lakukan kemarin?" Tanya Hana. Hatinya seperti di hantam sesuatu. Ia merasakan sesak yang amat sangat. Laki-laki yang ia cintai sepenuh hati ternyata tidak mau mempertahankan hubungan mereka.

Bram mengangguk. "Hubungan ini salah, dari awal mas udah ngomong. Mas sangat minta maaf, kejadian kemarin di luar kendali kita berdua."

Hana semakin tergugu. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak. "Mas, kenapa aku cinta sama laki-laki brengsek seperti kamu." Lirih Hana.

"Aku memang brengsek, Hana. Jangan mencintai aku." Tekan Bram.

Bram tidak menolak jika ia disebut brengsek. Toh, dia memang brengsek. Setelah meniduri Hana, ia malah mau menikah dengan orang lain.

"Mas, aku takut hamil."

Jantung Bram seakan berhenti berdetak. Jujur, tidak pernah terpikirkan olehnya jika Hana benar-benar hamil. Tapi dengan cepat hatinya menyangkal. Hana tidak mungkin hamil, mereka melakukannya hanya satu kali. Itu pun secara tidak sengaja, pikir Bram.

"Nggak usah mikir macam-macam. Masa depan kamu masih panjang. Kalau itu beneran terjadi, mas nggak yakin bisa tanggung jawab."

Plak! Perih segera mengalir di pipi Bram ketika tangan gadis itu menamparnya.

Bahkan seandainya ia mengandung benihnya, Bram tidak mau bertanggungjawab. Ia tidak menyangka, masnya itu akan secepat ini berubah setelah mengenal wanita lain.

"Brengsek! Kamu bukan Bram yang aku kenal lagi." Isak Hana.

"Kamu mau aku gimana? Nikahin kamu? Nggak mungkin, Hana! Apa kata orang kalau kita nikah? Lagian kamu belum tentu hamil juga kan?" Bela Bram.

Ia semakin muak dengan Hana. Tidakkah Hana berpikir bagaimana kalau mereka berdua menikah? Apa pendapat tetangga mereka? Bram jadi menyesal selalu memanjakan Hana sedari kecil. Apa yang Hana mau pasti Bram akan berusaha mengabulkannya. Namun hal itu justru menjadi boomerang untuk Bram.

Rasa cinta Hana pada Bram membuat wanita itu tidak mampu membalas ucapan Bram. Lidahnya seolah kelu. Di hatinya masih berharap Bram akan memilihnya. Meskipun kini, ia memohon di hadapan Bram tanpa harga diri lagi.

"Udahlah. Mas capek mau istirahat. Ingat dek, kita harus jaga jarak. Mas nggak mau calon istri mas cemburu kalau kita masih seperti dulu." Pungkas Bram.

Hana tidak mencegah Bram masuk ke dalam rumahnya. Dengan langkah lunglai Hana kembali ke rumahnya sendiri.

Semesta seolah tidak mengijinkan Hana segera beristirahat. Sejak anak gadis Murni membuka pintu, ia telah memperhatikan Hana.

"Nduk, kamu nangis? Ada apa?" Ibu Hana memeluk anak semata wayangnya.

Seolah mendapat tempat untuk berbagi kesedihannya, bahu Hana semakin bergetar. Isak tangisnya sampai ke telinga Murni. Murni agak heran, Hana menangis seperti sedang putus cinta.

"Nduk, kamu berantem sama masmu?" Tanya Murni lembut. Tangannya mengusap punggung Hana.

Hana menjawab dengan gelengan. "Aku.. aku hanya-"

"Sudah sudah. Apa karena mas mu mau nikah?"

Murni menanti jawaban putrinya. Alih-alih menjawab, Hana terus menangis hingga Murni mengartikan pertanyaannya tidak butuh jawaban lagi.

"Ini lah ketakutan ibu dari dulu. Kamu jatuh cinta sama masmu sendiri." Ucap Murni lirih.

Hana tersentak. "Ibu.. tau?"

Ibu dan anak itu pun mengurai pelukan. Murni membawa anak gadisnya duduk di sofa.

"Nduk, mungkin ibu bisa memahami perasaan kamu. Tapi ayah dan eyang pasti akan menentang kamu habis-habisan. Sebelum itu terjadi ibu mohon, lupakan masmu."

Murni membelai rambut putrinya. Ia sangat paham, melupakan tidak semudah saat jatuh cinta. Namun, Murni tidak akan tega jika membiarkan putrinya memupuk rasa cintanya kepada Bram.

Ibarat menggenggam setangkai mawar, Hana akan semakin terluka jika tidak melepaskan Bram.

"Bu, aku cinta sama Mas Bram." Ucap Hana. Air matanya entah kenapa tidak mau berhenti.

"Cinta saja nggak cukup untuk memperjuangkan hubungan kalian kedepannya, nduk. Kamu jangan terpaku sama masmu saja. Di dunia ini masih banyak laki-laki yang jauh lebih dari masmu."

"Tapi aku maunya Mas Bram. Hanya Mas Bram."

"Ya karena kamu belum ketemu sama laki-laki yang tulus mencintai kamu. Lebih baik bersama orang yang mencintai kamu daripada kamu bersama orang yang kamu cintai. Kamu akan mudah terluka, nduk." Jelas Murni.

Tentu saja, ia tidak ingin anaknya terluka. Juga Murni ingin Bram memiliki pendamping hidup yang lebih baik. Murni menyadari bahwa putrinya jauh jika dibandingkan dengan Kintani meski Murni tidak pernah bertemu secara langsung. Namun mendengar dari cerita Bram saja sudah cukup bagi Murni menyimpulkan bahwa Kintani adalah sosok yang keibuan.

*

Jahat kamuu Bram!!

Terjerat Pesona Mas BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang