TPMB - 12

4.7K 159 3
                                    

Aku cuma penulis amatir, baru belajar dan masih coba-coba. Jangan berharap banyak atau berekspektasi tinggi soal cerita ini.

Tapi, aku selalu berusaha kasih yg terbaik buat kalian yang bersedia baca😊

Enjoy.

*

Sebelum Bram mencapai pintu, Hana lebih dulu menarik lengan Bram dengan keras. Meski pun sejujurnya tenaga Hana tidak seberapa, diserang mendadak seperti itu membuat Bram hampir terjatuh jika keseimbangannya tidak bagus.

"Jujur sama aku, mas suka kan sama Kintani?!" Teriak Hana. Ia lupa, suaranya yang menggelegar akan membuat eyang curiga.

"Dek kamu apaan sih teriak-teriak gitu!" Bram melepas cekalan tangan Hana di lengannya. Rasa perih kemudian menyerang ke lengan Bram karena kuku Hana yang entah sengaja atau tidak sengaja menancap di lengannya.

Hana berdecih. "Alah, udah deh jangan mengalihkan pembicaraan. Jujur aja sama Hana!"

Bram menghela nafas. "Jujur apa sih?

Hana menatap tak percaya pada Bram yang seolah menganggap pertanyaannya adalah hal yang tidak penting.

"Apa mas nggak mikirin perasaan aku gimana waktu mas tadi perlakuin Kintani kayak gitu?" Seru Hana.

Sungguh, hati Hana rasanya seperti diremas-remas. Dia tidak bisa menahan gejolak cemburu dan rasa kesalnya pada Bram. Air mata yang sedari Hana tahan, perlahan kini mulai mengalir.

Bram memejamkan mata. Sikap Hana sangat berlebihan. Ia tidak mengerti bagian mana perlakuannya pada Kintani yang membuat Hana kalap. Padahal Bram sudah berusaha berperilaku netral. Tapi kenapa masih salah saja di mata Hana.

"Kamu berlebihan banget, apa mas ada memperlakukan Kintani dengan mesra? Menurut mas itu wajar banget dek. Kamu apaan sih sampek marah-marah gini." Jawab Bram sambil menekan kekesalannya.

Dari dulu, Bram akan selalu mengalah dan memperlakukan Hana lembut meski gadis ini salah tapi malah marah-marah. Entah kenapa malam ini, Bram tidak bisa menyembunyikan kekesalannya pada Hana.

"Berlebihan? Ha-ha-ha. Jadi menurut mas aku berlebihan?" Tanya Hana jengkel.

Bram mengangguk. "Iya. Kintani adalah perempuan yang sangat menjaga interaksinya dengan lawan jenis. Makanya mas menghargai dia banget."

Bukannya menenangkan Hana, sekarang Bram terkesan membandingkan Hana dan Kintani.

"Oh, jadi karena dia berhijab makanya mas menghormati dia. Sedangkan aku yang urakan kayak gini mas sepelin gitu? Ya ampun maaassss, kemana sih Mas Bram yang selalu belain aku? Kemana sih Mas Bram yang selalu nganggap cewek lain biasa aja dibandingkan aku?" Hana menyeka air matanya yang luruh.

Bram bersedekap. Ia menyandarkan punggungnya ke kusen pintu.

"Dek, kamu kok malah nyampe kemana-mana sih bahasnya." Banyak kata yang tertahan di tenggorokan Bram, namun yang keluar hanyalah kalimat sederhana. Ia takut jika membalas perkataan Hana malah membuat gadis ini semakin terluka.

Hana memajukan badannya, menempelkan bibirnya ke bibir Bram. Ia melumat bibir Bram dengan kasar, menumpahkan segala emosi yang ada di hatinya. Bram terkejut. Tapi ia membiarkan Hana melumat bibirnya sesuka hati agar kemarahannya mereda.

"Aku takut mas naksir sama Kintani. Makanya aku kayak gini. Maafin aku." Cicit Hana di dada Bram.

Bram memeluk Hana, mengelus punggung gadis itu dengan sayang.

"Iya nggak apa-apa. Mas juga minta maaf kalau bikin kamu kayak gini." Kata Bram.

Hana mengangguk. "Jangan tinggalin aku ya mas."

Bram mengangguk saja. Ia tidak akan berjanji. Bram terlalu takut jika Bram akan mengingkari janjinya pada Hana.

"Ehem ehem."

Otomatis Bram dan Hana saling mengurai pelukan mereka. Bram segera berbalik, dan mendapati kakak Hana tengah berdiri di belakang mereka.

"Mbak Ifaa!!" Pekik Hana lalu menghambur ke pelukan Ifa.

"Aduh aduh. Kamu bau banget dek. Kamu nggak mandi?" Tanya Ifa.

Hana yang berada dipelukan Ifa terkekeh. "Iya, bau banget emang?"

Ifa melepas pelukan Hana dengan dramatis. "Pake nanya! Udah mandi sana. Kita makan malem bareng di sini."

"Oke deh. Tunggu ya!" Hana langsung berlari ke rumahnya untuk membersihkan diri.

"Kapan datang, Fa?" Tanya Bram basa-basi.

Dalam hati Bram merutuki dirinya sendiri yang telah membiarkan Hana menciumnya di luar rumah. Semoga Ifa tidak sempat memergoki mereka yang sedang berciuman.

"Tadi pas kalian pergi. Duduk dulu sini, Bram." Ifa lebih dulu duduk, diikuti Bram yang berusaha menata ekspresi.

"Anak-anakmu mana?"

"Main sama eyang lah di dalem. Ternyata lama juga aku nggak berkunjung ke sini. Banyak yang berubah ya?"

Bram tersenyum. "Makanya sering-sering ke sini."

"Kamu kira minta ijin cuti itu gampang apa? Aku yakin di tempat kamu kerja juga nggak gampang!" Ejek Ifa.

"Iya lah. Kalau aku yang punya supermarket ya gampang, ndul!" Bram menjitak kening Ifa.

"Eh! Aku bilangin suamiku ya kamu!"

"Nggak takut." Bram dan Ifa kemudian tertawa. Pekerjaan membuat keduanya hanya berkumpul jika hari raya atau ada acara keluarga saja.

"Eh, terus kamu sekarang kok bisa cuti?"

"Lho, aku secara langsung di telepon eyang kok. Katanya sih mau ada acara besar." Ungkap Ifa.

Bram terkejut. Ia tidak tahu menahu soal acara besar yang Ifa katakan. Bram biasanya adalah orang pertama yang akan mengetahui acara di keluarganya.

"Acara besar apa?"

"Lho kamu beneran nggak tahu ta, ndul? Kan kamu mau lamaran?" Tanya Ifa bingung.

Kalau Ifa bingung. Bram lebih bingung. Siapa yang akan lamaran dengan siapa?

"Tapi ya gimana mau lamaran sama cewek lain, orang pacaran sama adekku. Ya kan? Ngaku kamu?!" Tembak Ifa tepat sasaran.

Bagai disambar petir, Bram kaget juga bingung. Bagaimana bisa Ifa mengetahui rahasia itu? Tidak mungkin sekali Hana yang memberi tahu Ifa secara langsung.

"Kok nggak jawab? Kaget kamu kalau aku tau kalian pacaran? Sama, aku juga kaget tadi liat kalian ciuman." Kata Ifa datar.

"Fa, k-kamu-"

"Iya, aku denger pembicaraan kalian. Bram, aku udah sering bilang sama kamu dari dulu. Jangan Hana. Kenapa kamu nggak dengerin aku?" Sesal Ifa.

"Aku juga nggak tahu, Fa." Jawab Bram jujur.

Ifa memijit pangkal hidungnya. "Kamu nggak lupa kan sama perjanjian kita dulu?"

"Nggak kok, Fa. Karena kamu udah tahu soal ini, aku akan jalanin sesuai perjanjian kita waktu itu." Jawab Bram putus asa.

Ifa tersenyum puas. Ia lega jika Bram ternyata sangat bertanggung jawab. Lubang yang ada di dalam hatinya, kini perlahan tertutup. Hanya Ifa dan Bram yang waktu itu membuat perjanjian di bawah pohon jambu belakang rumah Bram.

Hanya mereka berdua.

*

Janji apaan tuh😂

Terjerat Pesona Mas BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang