TPMB - 21

2.8K 60 9
                                    

Anw, seandainya alur cerita ini nggak sesuai sm ekspektasi kalian aku minta maaf bgtttt

Sblm baca jgn lupa vote!!

*

Hana tersenyum kecut melihat pemandangan didepannya. Namun tak urung ia bergabung dan merusak keseruan di ruang keluarga. Hana mendecih, ia tersinggung karena tawa dari bibir Kintani lenyap seketika setelah melihat Hana.

"Hai Hana." Sapa Kintani.

Hana mengacuhkan Kintani. Ia justru menghampiri Bram yang duduk berhadapan dengan Kintani. Tanpa permisi Hana duduk sambil memeluk Bram dari samping. Kintani diam memerhatikan gerak-gerik Hana.

"Aku punya kue buat mas dan eyang." Kata Hana sengaja tanpa menyebut Kintani.

Eyang yang melihat Hana bergelayut pada Bram mendelik tak terima. "Hana! Menjauhlah dari masmu. Nanti Kintani salah paham."

"Biarin aja kenapa sih eyang. Aku seminggu loh nggak ketemu sama mas." Hana semakin erat memeluk Bram.

Tanpa disangka oleh Hana, Bram menyingkirkan tangan Hana kasar. "Jaga sikap kamu dek!" Tegur Bram.

Kintani tersenyum kecil, ia sekarang mengerti bahwa ialah pemenang di hati Bram. Kintani tidak perlu repot-repot memikirkan Hana. Toh selamanya Hana dan Kintani tidak akan bisa bersaing. Posisi Hana dan Kintani di hati Bram pasti berbeda. Pikir Kintani

Hana seolah tidak mendengarkan perkataan Bram, tangannya kembali bergelayut manja di lengan Bram. Ia melirik Kintani yang kebetulan juga menatapnya.

"Ck, keras kepala." Gumam eyang. Meski eyang bicara pelan namun Hana mendengarnya.

Eyang beranjak dari sofa, tidak lupa mengajak Kintani untuk mengikutinya. Perempuan berbeda generasi tersebut akan menyiapkan makan malam. Melihat hal tersebut Hana senang karena tidak ada tatapan tajam dari eyang dan Kintani. Ia juga tidak tertarik ikut menyiapkan makan malam.

"Dek, kalau kamu gini nanti Kintani marah sama mas." Keluh Bram. Laki-laki itu beranjak menuju kamarnya. Namun Hana mencekal lengan Bram. Membawa laki-laki itu kehalaman rumah.

"Mas, aku udah cukup bersabar menjauhi kamu beberapa hari ini. Aku juga membiarkan kamu melamar wanita itu dengan tenang. Tapi jangan anggap aku menyerah. Kamu harus sama aku. SELAMANYA!" Tekan Hana. Meski Hana hanya berbisik, tapi dalam setiap ucapannya Hana menekankan kata-katanya.

Bram berdecak. "Dek, kalau kamu cinta sama aku harusnya kamu biarkan aku bahagia sama wanita lain. Bukan malah kayak gini."

"Jangan mimpi! Seandainya kamu nggak tidur sama aku, aku pasti akan dengan suka rela membiarkan kamu menikahi wanita lain." Desis Hana. Ingin sekali memaki Bram dan berteriak di depan laki-laki itu.

"Aku udah bilang berkali-kali, kamu yang memberikannya! Sedikitpun aku nggak minta itu sama kamu." Kesal Bram.

"Tapi kamu menikmatinya! Setelah kamu memakai tubuhku, kamu malah berencana menikahi perempuan lain. Kamu sangat brengsek!" Maki Hana. Ia merendahkan suaranya agar tidak mengundang eyang dan Kintani.

"Ya! Aku memang brengsek! Puas kamu?!" Bentak Bram. Tanpa sadar ia mencengkram lengan Hana hingga gadis itu meringis.

Berhari-hari ia menangisi Bram membuat air mata Hana kering. Ia tidak ingin menangis di depan laki-laki itu.

Hana tertawa rendah. "Laki-laki brengsek nggak cocok untuk wanita seperti ibu peri. Dia terlalu baik buat laki-laki pencundang seperti kamu. Apa aku harus ngasih tau dia biar dia tau kalau tunangannya pernah meniduri sepupunya sendiri?" Hana menatap nyalang pada laki-laki yang ia cintai.

"Kamu ngancem mas?" Tanya Bram tidak percaya.

Alis Hana seketika naik mendengar jawaban Bram. "Aku nggak ngancem, tapi aku mau memperingati dia."

"Kintani nggak akan percaya sama kamu!" Geram Bram.

"Mas,"

Entah sejak kapan Kintani berdiri di ambang pintu. Tunangannya itu mencekal tangan Hana. Raut wajah mereka berdua sangat tegang. Bram berharap obrolannya dengan Hana tidak terdengar oleh tunangannya.

"Aku cari kamu, ternyata kamu di sini." Suara lembutnya membuat Bram membuang jauh-jauh emosi yang dipancing Hana.

Hana menatap penuh kebencian pada Kintani. Namun, Kintani membalasnya dengan senyum. Membuat gadis berambut abu-abu itu makin kesal.

"Ada apa?" Bram menghampiri tunangannya. Meninggalkan Hana berdiri di halaman rumah.

"Aku masak soto sama eyang, kamu mau cicip nggak?" Ucap Kintani sambil tersipu.

Bram tersenyum lega, ia menyimpulkan Kintani tidak mendengar pembicaraannya. Ia tidak bisa membayangkan jika Kintani menguping.

"Boleh. Ayo!"

Sebelum Bram membawa Kintani masuk, wanita itu menoleh pada Hana. Mengabaikan tatapan kebencian dari Hana, Kintani ingin hubungannya dengan Hana baik-baik saja.

"Ayo Hana, aku baru aja selesai masak soto. Kamu cicip juga ya?"

Kintani menarik lengan Hana pelan agar mengikutinya masuk ke dalam rumah. Hana menyentak tangan Kintani dari lengannya.

"Aku bisa jalan sendiri!" Ujar Hana ketus.

Namun Kintani tidak menjawab, memilih menyiapkan soto untuk Bram dan eyang.

Aroma rempah-rempah yang kuat membuat soto terlihat sangat enak. Tapi ada yang berbeda dari badan Hana. Perutnya seperti berputar-putar. Rasa itu menjalar ke tenggorokannya hingga Hana berlari ke kamar mandi.

Kintani menyadari Hana berlari sambil memegangi perut dan mulutnya. Wanita itu tidak bisa tidak khawatir pada Hana.

"Hana!" Pekik Kintani. Ia juga berlari menyusul Hana. Langkahnya juga diikuti oleh Bram. Eyang menunggu di meja makan, karena keadaan kakinya yang sudah tidak bisa berlari lagi.

Hoeek... hooeeekkk..

Sigap Kintani mengumpulkan rambut Hana yang terurai ke genggamannya. Hana sedang memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset. Perempuan itu bersimpuh sambil memegangi perutnya yang mual.

Bram berdiri mematung di pintu kamar mandi yang terbuka. Tanpa sengaja terlintas di pikirannya Hana sedang hamil. Namun Bram segera mengenyahkan pikiran buruknya. Barangkali lambung Hana sedang kambuh, pikirnya.

"Hana kamu nggak apa-apa?" Ia membantu Hana berdiri.

"Hmm." Sahut Hana.

"Muka kamu pucet banget, kamu lagi sakit?" Tanya Kintani perhatian. Ia memberikan tisu untuk Hana.

"Dek, k-kamu.. maagmu kambuh lagi?" Tanya Bram gugup.

"Aku mau pulang!"

Tanpa mengucapkan terima kasih pada Kintani, Hana melenggang pergi. Pikirannya tiba-tiba kalut. Apa dia hamil?

"Hana kenapa?" Tanya eyang. Ia khawatir pada keadaan cucunya.

"Mungkin maagnya kambuh lagi eyang. Dia suka telat makan." Jelas Bram meski ia tidak tahu penyebab Hana mual yang sebenarnya. Tapi semoga dugaannya benar.

Kintani bukan perempuan bodoh, ia melihat gelagat aneh Bram saat di kamar mandi tadi. Tapi Kintani tidak akan memperpanjang ini, ia ingin hubungannya dengan Bram berjalan dengan baik. Ia tidak ingin pertengkaran membawanya gagal untuk menikah. Wanita baik hati itu tidak akan ambil pusing, barangkali Hana memang sedang masuk angin atau maagnya sedang kambuh.

*

Bram kamu psti akan nyesel bgttttt.

Karna vote nya dikit aku gatau mau up apa ngga besok

Terjerat Pesona Mas BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang