*"Mas pulang jamber?"
"Jamber apa sih? Mas taunya jambret. Kamu ngedoain mas kalau pulang di jambret ya?" Sewot Bram pada Hana di telepon.
"Aelah, jamber itu jam berapa keles!" Jawab Hana tak kalah sewot.
"Oh, jam tiga. Kenapa dek?"
Hana napas lega. "Syukur deh. Ini lho, eyang mau urut. Kakinya sakit lagi mas. Motorku kan lagi rusak. Ayah juga belum pulang."
Seketika Bram panik mendengar kabar eyang. "Kok bisa? Eyang nggak jatuh kan dek?"
"Nggak kok mas."
"Ya udah syukur. Habis ini mas langsung pulang kok. Nggak usah nitip-nitip! Tadi kamu udah malak mas!" Hardik Bram.
"Idihhh. Pelit banget sepupu satu!"
"Mas tutup ya. Nggak enak teleponan lama-lama."
"Siyap."
Bram bernafas lega. Setidaknya sekarang sudah jam dua lebih sepuluh menit. Sebentar lagi Bram akan cepat pulang dan ngebut.
Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya pergantian shift telah tiba. Bram segera menuju loker dimana tasnya berada. Lalu menggendongnya cepat. Dia harus segera tiba di rumah.
"Eh, Bram Bram tunggu!" Rika berlari menghampiri Bram yang tengah duduk di motor.
"Kenapa ya bu?" Bram merasa bahwa ia tidak akan cepat sampai di rumah.
"Begini, mobil saya mogok. Saya harus ke toko kue sebentar. Mengambil kue titipan ibu saya. Kamu bisa bantu?" Jelas Rika sambil tersenyum manis.
Bram membalas dengan senyum tipis. "Saya sedang buru-buru, bu."
"Wah, jadi nggak bisa bantu ya?" Tanya Rika dengan senyum yang dipaksakan.
"Saya nggak bawa helm cadangan juga."
Rika memegang pundak Bram. "Saya sudah bawa helm ini. Masak kamu nggak lihat?" Rika mengangkat helm yang dari tadi berada di tangannya.
"Saya nggak bisa lama-lama, bu. Mari saya antar."
Rika mengangguk senang. Dia segera memakai helm dan naik ke boncengan Bram. Sengaja Rika memeluk perut Bram. Membuat Bram sendiri tidak nyaman.
"Bu, nggak enak di lihat karyawan lain." Kata Bram berusaha melepaskan pelukan Rika.
"Ah, nggak apa-apa saya takut jatuh."
Bram tidak berkata-kata lagi. Ia kemudian melajukan motor maticnya sesuai arahan dari Rika.
"Saya tunggu di luar saja bu." Kata Bram sopan.
"Eh, ayo masuk saja Bram. Ayo!" Rika menarik tangan Bram. Bram hanya diam menuruti Rika.
"Kamu mau pesan apa Bram? Minum atau mau makan cake?" Tanya Rika membolak-balik buku menu di kasir.
"Terimakasih bu. Tapi saya sedang buru-buru. Ibu bisa langsung saja mengambil kue pesanannya? Saya sangat buru-buru sekali." Ucap Bram tak enak hati.
Rika tersenyum masam. "Baiklah."
Bram duduk di salah satu kursi tunggu di dekat kasir. Dia bergerak gelisah. Menunggu Rika yang tengah bercakap-cakap dengan perempuan di balik etalase.
"Bram? Beli kue?"
Suara bariton mengalihkan perhatian Bram yang sedang gelisah.
"Pakde Jalu? Kok di sini?"
"Lha! Kamu ditanya malah tanya balik. Pakde kesini ngambil pesanan bude kamu." Pakde Jalu menunjuk satu kotak gethuk modern.
"Bram nganter supervisor ngambil kue. Nggak enak kalau nolak pakde. Meskipun buru-buru pulang sih sebenarnya."
Pakde Jalu mengernyit heran. "Buru-buru kenapa? Adikmu ngajak jalan-jalan?"
Bram menggeleng. "Pakde belum tau? Eyang kakinya kambuh?"
Pakde Jalu terkejut. "Nggak. Ya sudah, pakde pulang duluan. Kamu antar supervisor kamu dulu. Hati-hati, Bram."
Pakde Jalu menepuk pundak Bram sekilas. Lalu keluar dari toko tanpa berniat menyelamatkan Bram yang merasa dikerjai oleh supervisornya sendiri.
Rika menghampiri Bram yang sedang duduk gelisah.
"Bram, kita ke rumahku dulu bisa?" Tanya Rika tanpa bertanya kenapa Bram seperti cacing kepanasan.
"Mohon maaf bu. Saya tidak bisa. Kalau Bu Rika mau pulang silakan menggunakan gojek saja. Dari tadi saya berusaha menunggu Bu Rika, berharap Bu Rika bisa mengerti kalau saya sedang mencemaskan eyang yang menunggu saya agar cepat pulang karena butuh bantuan. Tapi Bu Rika sepertinya sengaja menghiraukan peringatan saya bahwa saya tidak bisa lama-lama. Permisi."
Bram meninggalkan Rika yang masih berdiri. Senyum Rika luntur seketika mendapati dirinya untuk pertama kali di tolak oleh seorang laki-laki yang tak ubahnya hanya seorang satpam.
Bram seperti kesetanan membawa motor maticnya membelah jalanan Malang. Di kepalanya, ia hanya mengkhawatirkan eyang yang sedang kesakitan. Ia tidak peduli jika besok akan mendapat teguran dari Rika karena tidak sopan. Menurut Bram itu tidak akan menjadi masalah karena jam kerjanya telah usai.
Suara decitan ban membuat Hana yang sedang menggendong kucing di teras rumah Bram berjengit kaget. Bram menghampiri Hana tergopoh-gopoh.
"Dek, eyang dimana? Kamu kok di luar?" Tanya Bram melupakan nafasnya yang ngos-ngosan.
"Mas udah telat! Eyang udah di bawa ke tukang urut sama ayah. Pakai mobil." Jawab Hana ketus.
Bram menghela napas. Ia mendaratkan bokongnya di kursi rotan sebelah Hana. Menghilangkan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun menyadari dirinya sudah telat.
Sebagai satu-satunya orang yang tinggal bersama eyang, dirinya merasa gagal siaga membantu eyang meringankan segala keluh kesahnya.
"Lagian kenapa bisa sampai jam setengah lima gini coba?! Hana nggak tega tau sama eyang tadi!"
"Bude ikut tadi dek?"
"Iya lah! Hana nggak boleh ikut. Jagain rumah aja kata ibu. Sambil nemenin mas."
Jemari lentik Hana menggaruk dagu kucing persia gendut di pangkuannya. Merasa ada yang aneh dari penampilan Bram, Hana menoleh lagi lalu detik berikutnya tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa sih dek?! Nggak jelas banget." Hardik Bram.
"Nggak." Kata Hana pendek lalu tertawa lagi.
Karena Hana menjengkelkan, Bram meninggalkan Hana di teras. Badannya terasa lengket. Ia memutuskan untuk mandi saja.
Tapi ketika Bram akan melepas kaos yang menjadi dalaman seragamnya, kaos tersebut tidak bisa terlepas. Bram baru menyadari kebodohannya di kamar mandi. Mungkin karena panik, setelah menstandartkan motor dia langsung turun tanpa melepas helm.
Sama halnya dengan Hana, Bram menertawai kebodohannya sendiri sampai memegangi perutnya yang kaku.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Pesona Mas Bram
Teen Fiction"Mas, jadi pacar Hana mau nggak?" Tanya Hana tiba-tiba. Bram hanya diam. Tak menyangka sepupunya akan bertanya seperti itu. "Eh, Hana ganti deh pertanyaannya. Hana mau kok jadi pacar mas. Ini pernyataan loh mas! Mas nggak boleh nolak!" Kata Hana ser...