*Jam empat bukanlah waktu yang terlalu pagi untuk eyang bangun tidur. Itu adalah kebiasaannya sejak masih gadis. Dirinya terbiasa bangun sebelum subuh untuk memasak sarapan. Tapi karena kakinya belum sembuh total, eyang kemudian mendudukkan dirinya dan bersandar di kepala ranjang.
Lain hal dengan Hana yang saat ini masih mendengkur. Rambutnya awut-awutan, mulutnya sedikit menganga tanpa Hana sadar. Eyang menggeleng pelan. Eyang lalu mengernyit. Agak mendekat ke kepala Hana. Menyingkirkan rambut yang sedikit menutupi leher Hana.
Eyang terkejut. Di leher Hana, terdapat bercak merah keunguan seperti lebam. Karena krah piyamanya sedikit rendah, eyang juga melihat bercak tersebut di tulang selangka Hana. Apa yang gadis ini sudah lakukan?
Eyang kembali ke posisinya semula. Bercak ini persis seperti milik Ifa, kakak Hana yang waktu itu pulang sekolah lebih telat dari biasanya.
Karena rambut Ifa pendek, Jalu dengan mudah menemukan bercak yang ada di leher anaknya. Dengan murka Jalu memukuli Ifa sampai anak itu memiliki lebam di paha dan tangannya.
Eyang yang tidak mengerti kenapa Jalu memukuli Ifa bertanya-tanya. Ia memutuskan bertanya pada menantunya saja. Murni menjelaskan bahwa bercak di leher Ifa bukanlah lebam karena jatuh atau di pukul. Melainkan bercak cupang atau kissmark.
Bagaimana jadinya jika Jalu mengetahui Hana memiliki bekas cupang tersebut? Jika Hana mengaku tidak punya pacar, siapa yang melakukannya dengan Hana? Eyang menghembuskan napas kasar.
Ia berusaha menepis satu nama yang dengan lancang hadir di otaknya ketika ia mencari jawaban pelaku. Tidak mungkin Bram! Iya, tidak mungkin!
Hana menggeliat, mencari guling yang terlepas dari pelukannya. Eyang menepuk pipi cucunya pelan. Membangunkan gadis itu untuk segera menunaikan sholat subuh.
"Sholat nduk, ayo bangun!"
Hana mengerjapkan matanya, ia duduk sambil menguap lebar. "Iya eyang."
Hana turun dari ranjang lalu keluar dari kamar eyang. Karena rumah eyang mengusung konsep kuno, maka kamar mandi berada di dapur. Hana sedikit sempoyongan berjalan ke dapur karena masih sangat mengantuk.
Matanya tiba-tiba melotot melihat punggung telanjang Bram berdiri di depan kompor. Tanpa berpikir lagi, Hana memeluk Bram dari belakang.
"Hmmm. Wangiii." Hana mengendus punggung Bram sambil sesekali mengecup kecil.
"Kirain siapa. Sholat dulu sana!" Bram mengaduk tumis kangkung tanpa menyingkirkan tangan Hana di perutnya.
"Bentar lagi. Masih pengen peluuukkk." Ucap Hana manja.
Bram berbalik, mendorong dahi Hana dengan telunjuknya sampai gadis itu sedikit menjauh darinya.
"Sholat!" Ucap Bram garang.
Hana mencebik, "iya deh."
Bram menggeleng pelan. Masih pagi, tapi Hana membuat darah tingginya kumat. Bram mengurut dadanya tiga kali. Berharap adiknya tidak membuat ia serangan jantung mendadak.
Beruntung gadis itu tidak mengganggunya lagi sampai masakannya tersaji di meja makan. Bram telah memakai setelan satpamnya sebelum sarapan. Ia memapah eyang ke meja makan. Bram mengernyit ketika matanya tidak berhasil menangkap keberadaan Hana.
"Hana pulang eyang?"
Eyang menyamankan posisi duduknya di depan Bram. "Iya, kuliah pagi katanya."
Bram hanya mengangguk. Ia menyendokkan nasi dan beberapa lauk ke piring eyang. Kemudian ke piringnya sendiri.
Eyang dan Bram makan dalam diam. Tentu saja setelah ini eyang akan bertanya sedikit kepada Bram. Cucu satu-satunya yang berjenis laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Pesona Mas Bram
Teen Fiction"Mas, jadi pacar Hana mau nggak?" Tanya Hana tiba-tiba. Bram hanya diam. Tak menyangka sepupunya akan bertanya seperti itu. "Eh, Hana ganti deh pertanyaannya. Hana mau kok jadi pacar mas. Ini pernyataan loh mas! Mas nggak boleh nolak!" Kata Hana ser...