"Bolehkah aku menjadi ayah dari anak itu?"
Bulan Juney harus merelakan masa mudanya untuk mengurus anak di luar nikah yang sedang dirinya kandung. Juney pun terpaksa mengasingkan diri, ia harus hidup dan menghidupi anaknya seorang diri di kota yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"As long as you were here, I'll be alright."
"Siapa kamu sebenarnya?"
Detik jarum jam memenuhi rungu pemuda yang sedang lekat menatap seseorang di hadapannya. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi perempuan yang sedang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit itu tak kunjung membuka kedua matanya.
"Bulan Juney...."
Jupiter mengulurkan tangan mencoba menyentuh permukaan kulit putih yang kini mulai memucat itu, membawa jemari lentik Juney ke dalam genggaman tangannya. Mengusapnya lembut berusaha menarik atensi alam bawah sadar perempuan manis itu agar bisa cepat tersadar.
Tidak, bukannya Jupiter ingin segera mendengar cerita yang selama ini telah Juney sembunyikan. Ia murni menginginkan Juney-nya itu untuk siuman dan cepat pulih. Si bungsu Murphy itu sudah rindu dengan senyum manis perempuan yang lebih tua darinya tersebut.
Maniknya bergulir, menyoroti perut yang tanpa dirinya sadari telah sedikit demi sedikit membesar. Tak hanya mata, kini tangan Jupiter juga beralih, ia meraba sedikit perut buncit itu, lalu mengusapnya perlahan.
Kemudian, tanpa berpikir panjang raganya mulai beranjak, sedikit membungkuk untuk mendekat ke arah tubuh ramping Juney, lalu mendaratkan telinga kanannya ke permukaan perut yang berisikan janin di dalamnya itu.
Detik berikutnya, Jupiter tertegun setelah dapat merasakan pergerakan di dalam perut Juney. Tanpa diundang, air mata itu perlahan berlinang membanjiri pipinya.
"Bolehkah aku menjadi ayah dari anak itu?" ucapnya sembari membelai lembut anak rambut yang menutupi mata Juney.
Aksinya tersebut berhasil mengukir senyum tipis dari seorang lelaki yang sedari tadi mengintip di balik celah pintu. Tidak ingin mengusik ketenangan adiknya, pemuda tersebut lantas memilih untuk pergi meninggalkan rumah sakit.
Tidak bermaksud lancang, akan tetapi dirinya sudah tak lagi tahan untuk menahan perasaan di dalam hatinya yang sudah membuncah. Oleh karena itu, kini Jupiter berniat memberikan kecupan singkat tepat di dahi Juney. Hanya satu kali saja, pikirnya.
Hingga akhirnya sebelum bilah bibir itu mendarat, sebuah suara yang lirih terlebih dahulu mengurungkan niatnya.
"Jupiter...."
Pemuda yang merasa namanya terpanggil itu terpelonjak sedikit terkejut mendapati perempuan yang sudah dirinya tunggu selama kurang lebih lima jam itu terbangun. "Kak Juney!?" seru Jupiter, tak dapat menyembunyikan kilat bahagia yang terpancar di wajah merahnya itu.
Saking semangatnya, Jupiter tanpa sadar langsung memeluk tubuh Juney yang belum sepenuhnya pulih. Lantas membuat Juney sedikit mengaduh di tengah tawanya yang masih terdengar seperti sebuah rintihan tersebut.