"Ponselnya mati, Tuan. Kami tidak berhasil melacaknya."
Pria bersetelan jas lengkap dengan dasi hitam itu menggertakkan gigi menahan amarah. Jemari telunjuknya ia ketuk-ketukkan ke atas meja kerja menandakan dirinya sedang berpikir keras.
Raut wajah yang mulai bermunculan semburat keriput itu tak bisa menyembunyikan rona gelisah dan kekhawatirannya sebagai seorang ayah yang sedang kehilangan anak semata wayangnya. Harris terlihat sangat putus asa!
BRAK!
Kini istrinya datang ke kantor, mendobrak pintu ruang pribadinya. Menyita seluruh atensi para anak buah dan karyawan perusahaannya yang bukan tanpa sebab sedang berada di dalam, tak lain ialah guna melaporkan tugas mereka untuk mencari Nona muda Juney, yang masih belum berhasil hingga saat ini.
"Aku sudah tidak bisa menunggu lagi," ucap Irene menghadap sang suami.
"Kurasa sudah waktunya untuk kita melapor ke polisi."
Harris memejamkan kedua mata. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, mengingat bagaimana sifat sang istri yang kelewat melankolis itu. Irene tidak bisa tinggal diam.
"Sayang, aku sudah pernah mengatakan ini kepadamu tempo hari. Kita tidak bisa menyerahkan kasus ini ke polisi begitu saja karena media pasti akan mengetahui semuanya," jelas orang nomor satu dalam perusahaan yang bergerak di bidang perangkat elektronik itu, berusaha membujuk sang istri
"Aku tidak masalah apabila media akan tahu semuanya, biarkan saja mereka tahu, aku tidak peduli!" elak Irene tegas.
"Itu kamu, Irene. Lalu bagaimana dengan nasib Juney? Dia sendiri yang bilang tidak mau diusik oleh media, dan satu lagi, apa kamu lupa dengan serangan panik yang diidap Juney yang sewaktu-waktu bisa kambuh karena media tiba-tiba mencampuri urusan pribadinya?"
Irene terdiam mendengar penjelasan Harris. Nalarnya pun turut mengamini perkataan suaminya tersebut. Namun, hatinya tetap saja tidak bisa tenang. Ia takut hal buruk akan terjadi kepada Juney, mengingat bagaimana polosnya anak itu.
Seumur-umur, Juney belum pernah lepas dari kendali orang tuanya. Gadis yang seharusnya tengah berada di bangku perkuliahan itu selalu menurut dan tidak pernah neko-neko sebelumnya. Katakan saja Irene terlalu memanjakannya. Ya, hal itu memang tidak bisa dipungkiri.
"Aku sedang mengusahakan yang terbaik, melakukan segala cara untuk membawa Juney kembali ke pelukan kita, Sayang. Aku masih Ayahnya jika kau lupa," ujar Harris sembari memijit pelipisnya yang tiba-tiba merasa pening luar biasa.
Aktris dengan bayaran termahal itu dapat mengerti. Kali ini suaminya benar dalam mengambil keputusan. Tidak seharusnya ia datang dan mengacaukan semuanya hanya karena mementingkan ego sendiri. Ia tidak boleh gegabah dan salah dalam mengambil langkah. Dan, ya, yang harus Irene lakukan sekarang hanyalah berdoa dan menunggu dengan sabar.
Demi kebaikan Juney. Demi kepulangan Juney dengan selamat tanpa ada sedikit pun luka, termasuk luka di dalam hati, lebih-lebih kesehatan mentalnya.
***
Beralih ke kediaman Keluarga Murphy di pagi hari.
"Bagaimana sekolahmu, Ju?" tanya pria yang berperan sebagai kepala keluarga itu di sela aktivitas sarapan pagi mereka.
"Baik-baik saja, Pa. Menjadi murid akselerasi tidak seberat yang kukira," jawab Jupiter sembari mengolesi roti dengan selai kacang favoritnya.
Joshua yang baru saja bergabung mulai memundurkan kursi untuknya duduki sendiri. "Papa bertanya pada Jupiter saja?" kesal pemuda berambut belah tengah itu sembari menyomot roti yang berada di genggaman sang adik.

KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Romance"Bolehkah aku menjadi ayah dari anak itu?" Bulan Juney harus merelakan masa mudanya untuk mengurus anak di luar nikah yang sedang dirinya kandung. Juney pun terpaksa mengasingkan diri, ia harus hidup dan menghidupi anaknya seorang diri di kota yang...