Bagian - 17

2.2K 206 15
                                    

"Halo, Laras?! Kamu di mana?!" Suara Yessi terdengar panik di seberang sana. Laras baru membuka ponselnya kembali setelah matahari terbit sudah cukup tinggi. Ditolehkan kepalanya ke samping, Laras rasanya ingin merutuki kebodohannya saat mendapati sosok mantan suaminya yang masih terlelap tanpa menggunakan baju. Setan benar-benar sudah berhasil membuai keduanya hingga berakhir di atas tempat tidur. Pertahanan Laras untuk menolak Damian sangatlah rapuh, sehingga memudahkan lelaki ini mendominasi ruang geraknya.

"Halo, Ras? Kok diam? Kamu masih di situ kan? Astaga! Mas Asga! Kayaknya Laras diculik deh! Tiba-tiba dia diam."

"Yess!" Laras buru-buru mengeluarkan suaranya, sebelum kondisi penelepon semakin kacau. "Sori, aku baru bangun tidur. Nyawanya masih belum terkumpul sepenuhnya."

"Ya ampuuuun, Laras! Kamu bikin panik aja! Sekarang kamu di mana?! Kenapa nggak pulang ke rumah?!" Yessi berteriak marah.

"Aku aman kok." Laras tidak mungkin berkata jujur. Demi Tuhan, yang dilakukan semalam bersama Damian merupakan aib yang harus dirahasiakan. Sekalipun itu pada sahabatnya sendiri.

"Iya, kamu di mana?!" Ulang Yessi kesal. "Harusnya kalau nggak pulang itu bilang dong, Ras! Kamu bikin panik orang di rumah, terutama Mama. Kamu di mana sih? Jangan bilang kamu tidur di hotel lagi. Kebiasaan banget! Kenapa sih? Rumahku nggak bikin kamu nyaman?"

Laras menahan pekikan, saat tiba-tiba merasakan tangan Damian bergerak menjangkau dadanya. Segera disingkirkan jari-jari itu dan memberi peringatan pada si pelaku untuk tidak berulah, karena ia sedang menerima telepon. Dalam cahaya lampu yang remang-remang, Laras masih bisa melihat ekspresi protes Damian saat ditolak.

Akhirnya, Laras memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya yang bercecer di lantai dengan terburu-buru.

"Ras, halo?! Kok diam lagi sih?! Halo?!"

"Bentar!" Tahan Laras sambil melangkah ke kamar mandi. "Kamu nelepon pas aku lagi kebelet. Sekarang aku lagi di kamar mandi."

"Hish, capek deh!" Desah Yessi. "Berarti sekarang kamu lagi di hotel? Kamu beneran aman kan?"

"Aman, Buk." Jawab Laras, sibuk membilas wajahnya dengan air. Laras mendesah, di tempat ini bahkan tidak ada sabun cuci muka dan sikat gigi. "Hari ini kan aku nggak ada praktek. Biasanya kalau nggak ada jadwal kerja pasien aku pakai molor sampai siang. Aku nggak enak nunjukin kebiasaan burukku ke Mamamu. Sori, ya!" Semoga saja alasan ini terdengar masuk akal di telinga Yessi.

"Ya ampun, Ras, santai aja kali! Mama juga nggak bakalan usir kamu kalau kamu emang pengin malas-malasan. Di rumah sudah ada banyak pembantu, nggak akan juga Mama nyuruh kamu buat beres-beres rumah."

Laras meringis, sudah jago berbohong rupanya.

"Kamu nginap di hotel mana sih? Kayak yang waktu itu? Butuh baju nggak? Nanti aku bawain ke sana."

Terkutuklah, Laras! Karena sudah tega mengelabuhi sahabat baiknya. "Nggak Yess, thanks. Habis ini aku pulang."

"O gitu. Yaudah. Sore kita nongkrong, ya. Ngopi-ngopi." Sudah dari kedatangannya seminggu yang lalu Yessi mengajaknya berkuliner di luar. Tapi belum juga terlaksana karena jadwal keduanya yang padat dan selalu bertabrakan.

Laras mengangguk setuju, meski tindakannya ini tidak dilihat oleh lawan bicaranya.

Sambungan telepon ditutup, bersamaan dengan pintu kamar mandi yang dikuak dan muncullah wujud Damian yang polos tanpa sehelai benang pun. Laras mundur, mantan suaminya yang gila ini menerjang ke arahnya.

"Lagi yuk, Yang!" Pinta lelaki itu sambil bergerilya membuka kancing blus Laras dan mengangkat rok spannya ke atas.

"Ya ampun, ya ampun! Astaghfirullah al adzim, astaghfirullah al adzim!" Dengan terus menggumamkan kalimat taubat, Laras berusaha membebaskan dirinya. Semalam ia boleh bodoh dan terbuai, tapi kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh syahwat.

"Aduh!"

Tidak ada cara yang bisa dilakukan selain daripada ini. Saat Damian masih sibuk mengaduh, kesempatan itu Laras gunakan untuk keluar dari kamar mandi. Lalu, ia bersiap-siap membenarkan penampilannya di depan cermin. Laras harus segera pulang. Bahaya jika terus berdiam diri hanya berdua saja dengan Damian. Peristiwa semalam buktinya.

"Tega banget sih! Sakit tahu nggak?! Gimana kalau nggak bisa berdiri lagi?! Kamu juga nanti yang repot!" Damian keluar dari kamar mandi dengan paras ditekuk.

Laras pura-pura tak perduli, sibuk mengoleskan lipgloss di bibirnya.

"Sakit loh, Yang! Sumpah!" Sambil mengenakan celananya Damian terus mengeluh pada Laras. "Kayaknya aku butuh periksa ini. Buat mastiin baik-baik saja dan nggak patah."

Astaga! Laras menarik napas, dan menghembuskannya pelan, sebelum melempar tatapannya pada mantan suaminya yang kelakuannya sudah mirip seperti bocah SD. "Nggak usah kebanyakan omong gitu, Dam! Buruan cepat pakai bajumu! Aku mau pulang sekarang!" Sentaknya kesal.

"Tapi ini beneran sakit!" Lagi-lagi Damian menunjuk barang miliknya yang terletak di bawah perut. "Sumpah, aku nggak bohong. Ngilu."

Dalam hati Laras bertanya-tanya, kenapa ia harus kenal dan berurusan dengan manusia menyebalkan seperti Damian? Laras yakin, hanya pada dirinya saja lelaki ini bertingkah sangat absurd. "Terserah kamu deh! Aku pulang duluan!" Laras menyambar tas jinjingnya dan mengayun langkah keluar kamar.

Damian mengekor di belakangnya sambil berteriak memberitahu pesuruh rumah bahwa ia akan pergi.

Laras menguasai kemudi. "Kamu mau diantar ke mana? Kantor, atau ke rumah ...."

"Kita cari sarapan dulu aja!" Sahut Damian. "Aku lapar. Mana ini masih sakit banget lagi. Kayaknya aku butuh mampir apotek buat beli obat pereda nyeri deh."

"Astaga, Dam! Kamu nggak capek guyon muluk dari tadi? Aku aja yang dengar capek loh."

"Siapa yang guyon sih, Yang! Ini beneran sakit. Coba deh sini sentuh!" Damian mengambil tangan kiri Laras dan meletakkannya pada tonjolan di balik celana hitam tersebut.

"Itu masih bisa tegang." Laras buru-buru menarik kembali tangannya. Lagi pula, sedang menyetir, jadi harus fokus. "Kamu ini ada-ada saja. Nggak lagi ngapa-ngapain kenapa itumu bisa tegang gitu sih?"

"Ya ini semua gara-gara kamu!"

"Oke, kita cari sarapan!" Laras tidak ingin berdebat. "Soto ayam kampung?" Tawarnya.

"Boleh. Langganan kita dulu." Ujar Damian.

"Memangnya masih ada?" Warung soto yang biasa dikunjungi Laras dan Damian terletak di pinggir jalan. Dan seingat Laras, penjualnya dulu sudah cukup berumur. "Yang jualan masih hidup?"

"Sekarang anaknya yang gantiin."

"Oh, ku pikir, panjang umur banget!"

Saat sudah sampai di tempat tujuan, keduanya lekas turun dan bergabung dengan para pengunjung yang mengantre menunggu pesanannya.

"Rame banget!" Gumam Damian sambil merapat ke arah Laras. Lengannya merangkul pundak Laras, dan menjatuhkan kepalanya di kepala Laras. Lalu, lelaki itu berbisik. "Aku masih ngantuk banget. Kita baru sempat tidur setelah subuh."

"Dam, dilihatin orang ih!" Laras berusaha mendorong lelaki itu agar berhenti bergelayut di lengannya. "Kamu pikir, kamu nggak berat?!" Gerutunya dengan nada rendah.

Soto ayam kampung pesanan mereka sudah disajikan di atas meja. Keduanya lantas disibukkan dengan menyantap makanannya.

-TAMAT-
Baca kelengkapan ceritanya di aplikasi Karyakarsa. Terima kasih. 🫶

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang