Bagian - 16

2.5K 218 13
                                    

Usai kerja pasien, Laras mendapati Damian berdiri di depan pintu ruangannya. Lelaki itu masih mengenakan pakaian resmi. Sepulang ngantor, mungkin Damian langsung bertandang kemari. Laras hanya meliriknya sekilas, lalu melangkah meninggalkan ruangannya. Ditengoknya arlogi menunjukkan pukul delapan malam. Laras berjalan menuju tempat parkir di mana kendaraan roda empatnya berada. Seperti sebuah pengulangan, Damian mengekorinya. Namun kali ini lelaki itu tiba-tiba merangsek masuk di bangku penumpang samping kemudi.

"Kamu ngapain ikutan masuk?!" Tanya Laras ketus. Menghentikan pergerakannya menekan tombol stater.

Damian manatapnya sambil tersenyum. "Cari makan yuk?! Kamu lapar kan? Aku juga lapar."

"Aku makan di rumah. Tadi Tante Yunis sudah pesan pas aku mau berangkat kerja." Sambar Laras. "Lebih baik kamu turun!"

"Terus aku gimana dong? Aku belum makan dan lapar. Masa mau ikutan nebeng makan di sana juga?" Damian menampilkan paras melas.

"Terserah kamu, Dam. Kamu sudah gedhe. Bisa berangkat sendiri cari makan tanpa perlu aku anterin. Ayolah, keluar! Keburu malam ini. Habis kelar kerja, aku capek."

"Sini, aku setirin! Kita cari makan dulu!"

Damian tetap tidak mau turun sebelum keinginannya dituruti. Sedangkan Laras sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Akhirnya ia membiarkan lelaki itu mengambil alih setir dan membawanya ke sebuah restoran yang dulu sering mereka kunjungi saat masih bersama. Sepertinya Damian memang sengaja melakukan ini agar Laras kembali mengenang masa lalu. Astaga! Terkutuklah mantan suaminya ini!

Manusia adam satu ini memesan menu persis seperti yang biasa mereka dulu pesan. Jujur saja Laras merindukan cita rasa daging sapi yang dimasak dengan bumbu rahasia, yang tidak akan ia dapati di restoran lain. Dulu restoran ini menjadi pilihan utama Laras dan Damian, saat keduanya tidak sempat memasak di rumah. Dan mereka akan melakukan pesanan daring saat malas mengantre.

Laras tidak perlu basa-basi lagi saat menyantap hidangan yang baru saja disajikan oleh karyawan resto. Damian membeli cukup banyak menu. Tidak ada percakapan di antara mereka. Keduanya disibukkan dengan piring masing-masing. Laras dan Damian sudah mirip seperti orang yang tidak makan berhari-hari. Teramat fokus mengunyah. Sesekali keduanya akan saling pandang beberapa detik, lalu kembali menekuri isi piring hingga tandas.

"Uh, kenyang banget!" Gumam Damian dengan suara basnya. "Dari siang perutku belum kemasukan apa-apa."

Sama. Laras juga begitu. Bahkan ia berencana akan menghabiskan lauk yang masih tersisa seperti udang goreng dan kulit ayam krispi.

"Kamu juga pasti siang belum sempat makan kan?" Lanjut lelaki itu tidak benar-benar bertanya. "Kamu juga lahap banget. Pasti karena kelaparan. Gitu tadi nggak mau aku ajakin ke sini."

Laras mencocol udang goreng dengan sambal terasi dan segera dimasukkan ke mulutnya. Sudah cukup lama ia tidak makan di restoran ini sehingga lidahnya menjadi sangat norak. Es buahnya juga menambah kelezatan hidangan tersebut. Ingatkan Laras untuk datang ke tempat ini lagi di lain waktu.

"Dam, kita mau ke mana?!" Laras meliarkan tatapannya ke sekitar saat laju kendaraannya tidak sesuai dengan arah tujuan. "Ini kan bukan arah ke rumah Tante Yunis."

"Kita mampir sebentar ke rumah." Ujar lelaki itu tenang. Seolah Laras akan langsung menyetujui tindakan tersebut.

"Nggak, Dam! Aku mau pulang!" Tolak Laras. "Cepat putar balik! Aku capek! Pengin cepat-cepat sampai rumah dan istirahat."

"Nanti kamu bisa istirahat di sana."

Laras segera menatapnya marah. Mantan suaminya yang menyebalkan ini benar-benar pemaksa. Bagaimana bisa Laras beristirahat di rumah yang pernah menjadi masa lalunya?! Damian pasti sudah gila!

"Kamu tadi minta ditemani makan, sudah aku turutin loh. Harusnya sekarang aku pulang ke rumah Tante Yunis dong. Nggak enak, Tante Yunis nanti khawatir. Ini sudah jam setengah sepuluh aku belum sampai rumah."

"Chat aja! Bilang kalau kamu nggak pulang malam ini karena mau bermalam di rumahmu sendiri."

Tarik napas, hembuskan. Melawan Damian dengan emosi hanya akan merusak tubuhnya. Sehingga ia memilih untuk mengikuti alur yang lelaki ini buat. Bermalam di rumah kenangan mereka? Oke, kenapa tidak? Yang penting Laras bisa beristirahat dengan nyaman.

Tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain bertambahnya tanaman hidup yang membuat pelataran rumah menjadi semakin sejuk. Seperti yang dikatakan Damian, bahwa ada seseorang yang selalu mengurus rumah ini sehingga tampak sangat terawat. Bagian terkecil seperti cat tembok yang mengelupas nyaris tak ada. Karena mungkin setiap tahunnya Damian akan membayar tukang untuk merenovasi.

"Rooftopnya sudah aku bikin seperti yang kamu pengin." Bisik Damian, saat Laras masih sibuk mengamati sekitar. Meneliti setiap bagian dari rumah ini yang sempat terlepas dari pengawasannya. "Kita ke atas yuk?!"

Damian menarik jemari Laras untuk menaiki undak-undakan. Sebenarnya, rumah ini memiliki fasilitas lift yang terhubung langsung ke roofttop. Alat pengangkut tersebut berada di garasi bawah tanah. Tadi Damian menghentikan mobilnya di carport teras depan, dan keduanya masuk rumah melewati ruang tamu.

"Persis seperti gambar yang kamu kirim kan?" Mantan suaminya merealisasikan impian Laras untuk membangun sebuah tempat nongkrong yang cozy dan nyaman.

Laras bingung harus mendeskripsikan perasaannya. Ada sesal yang teramat kental saat menyadari betapa ceroboh tindakannya dulu. Kondisi rumah tangga yang baik-baik saja harus hancur oleh asumsi berlebih. Laras lah pelaku utamanya. Manusia paling tidak bijaksana dalam mengambil keputusan.

"Kamu pernah bilang akan duduk di sana sambil manggang daging dan ngegosip seru sama Yessi." Damian berbisik dari belakang dan tanpa disadari sudah melingkarkan kedua lengannya di pinggang Laras. "Kamu juga pernah bilang kalau sesekali kita bisa bercinta di situ."

Sensor otak Laras kembali berfungsi saat Damian mengucapkan kosa kata tidak sepatutnya di saat hubungan keduanya bukan lagi suami istri. Laras buru-buru melerai lengan-lengan itu dari tubuhnya dan bergerak menjauh. Tapi usahanya hanya sia-sia, karena Damian bisa segera menangkapnya dan tindakan yang dilakukan mantan suaminya kali ini lebih berani.

Damian membungkam Laras yang hendak protes dengan menempelkan bibir mereka. Menahan kedua sisi pipi Laras dengan cukup kuat sehingga mau tidak mau Laras harus merasakan ciuman Damian yang dalam dan tegas. Damian melakukannya dengan terampil. Dia paham caranya membangun hasrat lawan mainnya hanya dari sebuah ciuman.

Laras yang awalnya memberontak akhirnya luluh dan lekas mengalungkan lengannya pada leher Damian. Membalas ciuman mantan suaminya yang lama tidak dirasai. Keduanya berpagutan. Tubuh keduanya saling menempel. Tangan Damian yang tadinya hinggap di pipi Laras bergerak turun, menyusuri punggung Laras dan berhenti di pantatnya.

Aktivitas keduanya semakin memanas. Napas keduanya menjadi pendek-pendek. Tangan Damian menyelinap ke dalam blus Laras dan meremas sesuatu di sana. Tubuh Laras terasa lemas. Sudah lama ia tidak merasakan sensasi nikmat yang familer seperti ini.

"Kita lanjut di kamar!" Ujar Damian sembari menggiring Laras meninggalkan rooftop.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang