"Loh? Jadi udah nih?" Hansen mengangguk. Sedangkan Zidane masih menunduk, malu karena ketahuan adik pacarnya itu.
Dan Gavin hanya mengangguk sebentar kemudian menetralkan ekspresi wajahnya yang bisa dibilang lucu jika tidak dalam situasi canggung seperti ini.
Siapa yang tidak akan kaget melihat dua pasang anak muda saling menindih dengan posisi intim?
Gavin bahkan yakin seratus persen jika ia tak memergoki kakaknya pasti kegiatan itu akan berlanjut— you know lah.
"Dasar anak muda."
"Emang lo apaan?"
"Anak-anak lah."
Hansen memasang wajah ingin muntahnya. Tapi Gavin justru terfokus pada Zidane.
"Santai aja kali kak Zi. Gue cuma kaget dikit."
"Iya dikit, tapi muka lo dramatis banget."
"Iya lah, gak kebayang sih kalo misalnya malah tante Sarah yang liat."
Zidane spontan melompat dari kursinya, kemudian berlari ke kamarnya.
"Heran deh sama koko. Untung mama ga terlalu lama nunggunya."
Zidane menyengir saja ketika mendapat omelan sang mama tercinta akibat telat menjemput.
Salahkan Hansen yang terlalu err.. liar?
Zidane spontan melotot ke arah Gavin, yang jelas-jelas menunjukkan ekspresi menyebalkannya itu.
Dan Sarah pun akhirnya menyadari kehadiran Gavin.
"Apa kabar Gavin? Ga nyangka udah gede aja."
"Hehe, baik tante."
Yah, basa-basi dulu lah.
"Makasih ya udah bantuin tante ngehubungin Zidane, emang anaknya tuh suka banget molor padahal udah mau siang."
Cengiran Gavin semakin lebar, bersamaan dengan pelototan galak Zidane.
Zidane menutup telinga ketika mendengar pekikan dua wanita yang bersahutan. Cium pipi kanan-kiri kemudian duduk bersama sambil bercengkrama.
Siapa lagi kalau bukan Dona dan Sarah.
Sedangkan Hansen, yang turut diundang hanya tersenyum maklum. Selama ini mamanya hanya berinteraksi apa adanya dengan anak-anaknya dan tetangga sekitar.
Ia jarang sekali melihat mamanya seceria ini ketika berbiacara.
"Ayo makan. Zidane udah masak banyak." Yang disebut namanya pun melotot. Mama cantiknya suka sekali menjual namanya.
Biar kalo ternyata masakannya ga enak, mereka taunya kamu yang masak. Ucap mamanya waktu itu.
Untung sayang.
"Gimana perusahaan kamu disana?"
"Udah mulai stabil kok, makanya aku udah pulang. Kasian juga kalo si cina satu ini ditinggal."
"Mama juga cina loh."
"Ya emang, kalo kamu ga cina berarti bukan anak mama."
"Ya udah iya." Zidane mengangguk pasrah. Selain Hansen, mamanya juga tergolong cukup menyebalkan terutama saat berdebat.
"Terus Hansen sama Zidane gimana hubungannya?"
"Hah?"
Zidane melongo. Ia bahkan tidak memberitahu hubungannya dengan Hansen selain warga sekolah dan Gavin.
"Kok—"
"Keliatan banget. Kakak senyum-senyum terus, bahkan kesini aja rapi banget. Pasti mau jalan kan?" Dona tersenyum, begitu pun Sarah yang awalnya terkejut.
"Loh, mama gak marah?" Zidane masih saja bingung, kemudian beralih menatap sang mama.
"Ngapain marah?"
"He's a boy, mom."
"So?" Sarah mengangkat bahu. Menurutnya tidak masalah siapapun yang menjadi pacar anaknya.
"Asalkan dia orang yang baik dan sayang sama kamu, mama gak masalah."
Cubitan di pipi ia dapatkan.
"Aw! Akhirnya anak cina tunggalku udah gede! Mau jalan kan? Udah sana, jangan lupa melek yang lebar biar ga nabrak."
Zidane awalnya terharu, tapi tak jadi.
"Stop rasisin aku ma, mama juga cina!"
"Ini.. beneran?" Zidane menatap Hansen dan tiket itu bergantian.
Tiket konser band yang memang diincarnya beberapa hari lalu kini ada ditangannya.
"Kok tau sih aku lagi kepengen ini?"
"Ya apasih yang gak buat pacar."
"Ewh!" Sekalipun Zidane memasang ekspresi mualnya, setelahnya ia tetap tersenyum.
"Makasih ya Han."
Hansen tersenyum dan mengusak kepala Zidane.
"Ayo, nanti telat."
Hansen tersenyum manis menatap tangan Zidane yang sedari tadi menggenggamnya dan ikut berjalan kemanapun pemuda lucu itu pergi.
Malam ini, ia membiarkan tangan Zidane membawanya kemanapun.
Hingga akhirnya mereka berhenti di satu titik dimana menurut Zidane adalah posisi yang tepat untuk memandangi band kesayangannya.
Senyum itu tak pernah luntur dari bibir Zidane, dan tak luput pula dari pandangan Hansen yang turut tersenyum, bahkan di tengah-tengah keramaian dan cahaya yang bisa dibilang minim.
Begitu cantik hingga Hansen tanpa sadar menuntun Zidane menghadap ke arahnya.
"Kenapa?" Ekspresi bingung itu terpancar, menunggu apa yang akan dikatakan oleh belah bibir di hadapannya.
"I love you, Zidane Rayn Hanif."
"Hah?" Dengan jarak sedekat ini pun Zidane masih kesusahan mendengar apa yang dikatakan Hansen.
Sedangkan yang ditanyai hanya menggeleng, kemudian menarik Zidane dalam pelukannya.
Zidane menyadarinya, debaran dada Hansen yang menempel dipipinya cukup untuk menjelaskan hal yang tak sempat ia dengar.
Zidane bahkan tak bisa menebak mana yang paling ribut, suara konser atau debaran jantung mereka yang saling berganti.
Part dua puluh delapan : concert—end
Siap-siap ya, hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]
Fanfiction"Bukannya makin deket sama Celline, malah dideketin gebetannya. Mana bisa kek gini anjir!" ••• Zidane yang baru saja diputuskan mantan pacarnya dengan beruntung dapat pindah ke sekolah mantannya dengan niat mendekatinya lagi. Tapi yang menjadi halan...