Selamat membaca!
11 IPA 2
"Sialan!" Entah sudah berapa kali Zidane mengumpat, sesekali menggoyangkan kaki dan menggigit bibirnya.
Pemandangan itu tak luput dari pandangan Hansen
Ah harusnya Hansen juga menciumnya tadi.
Mari kita kembali ke beberapa saat yang lalu, saat ia berada di uks.
"Shit! Bahaya."
Ia refleks mengumpat ketika elusan pada perutnya semakin melambat dan merambat ke atas.
"Kenapa, hm?"
Demi kerang ajaib, pelaku yang mengelus perutnya adalah pelaku yang membuatnya kesal dan iri bersamaan pada jam istrahat
Hansen benar-benar!
Tapi yang ia lakukan hanya embeku seperti bongkahan es dengan tatapan tertuju ke arah Hansen yang seolah menantangnya.
"Le...pas!" Setelah sadar ia langsung menahan tangan Hansen namun dibalas gelengan pelan.
Dengan mudah Hansen menarik kedua tangan Zidand dan berakhir dengan kedua pergelangan tangannya berada diatas kepala
"Shhh, lepasin bangsathh."
Zidane semakin memberontak namun Hansen tak menghiraukannya. Rasa sakit di perutnya menghilang, digantikan dengan geli di sekitar lehernya.
Hansen benar-benar menghirup aroma tubuhnya yang bercampur sedikit dengan aromatherapy di sekitar lehernya
Bahkan sedikit menjilatnya.
Hansen benar-benar menggila, sebelum Zidane berteriak ia lebih dulu menginterupsi.
"Diem atau kita berdua bakal tertangkap."
"Maafkan aku tuhan." Ia bergumam, merasa berdosa ketika melakukan hal yang tak senonoh di UKS bersama seorang cowok.
Demi apapun, Zidane benar-benar lurus! Buktinya ia masih turn on ketika menonton film biru dan ia masih sangat menyukai Celline.
Pantas saja ia merasa ada yang tak beres dengan gebetan mantannya itu.
Sejak awal ia tahu pelaku yang sengaja menyenggol kakinya saat makan, bahkan sedikit menyentuh bokongnya ketika berjalan.
Awalnya ia pikir mungkin tak sengaja, tapi kejadian ketika ia merasa diikuti ketika ke UKS membuatnya semakin yakin—
— ada yang salah dengan gebetan Celline. Ini bahaya. Celline tak boleh bersama orang ini!
"Cel!" Panggilnya ketika jam sekolah sudah selesai.
"Ada yang mau kakak omongin." Celline mengerutkan dahinya.
"Ngg.. iya boleh tapi jangan lama-lama. Nanti kak Hansen—"
"Jauhin Hansen!" Ucapnya cepat. Mendengar nama itu disebut ia benar benar refleks berucap.
"Maksud kakak apa?" Oh, kini Celline menatapnya sedikit tajam.
"Kakak gak bisa kasih tahu sekarang tapi please, jauhin dia. Dia gak baik buat kamu. Kakak mohon, dia ga sebaik—"
"Justru yang aku liat gak sebaik itu malah kak Zidane sendiri." Celline tersenyum pedih.
"Setelah bikin aku feeling lonely dan pengen bahagia sama orang lain kak Zidane seenaknya ngomong kayak gitu."
"Bukan gitu maksud kakak, Cel."
"Kakak tahu apa soal kak Hansen? Kakak baru ketemu kak Hansen hari ini, dan langsung ngejudge dia kayak gitu? Impressive." Celline maju satu langkah di depan Zidane.
"Segitunya ya kakak pengen kita balikan? Dengan ngejatuhin orang lain yang bahkan belum dikenal sehari."
Zidane lupa satu hal, Celline lebih dulu mengenal Hansen dan tentu saja tak akan mempercayainya. Ia terlalu gegabah.
"Dengan kakak kayak gini, aku makin yakin kalau lepas dari kakak emang keputusan yang tepat buat aku. Aku permisi."
Demi apapun Zidane melemas ketika melihat Celline berjalan ke arah tolet sambil menangis.
Dari kejauhan, Hansen tersenyum kecil. Ia sejak tadi berada di belakamg Celline dan melihat interaksi keduanya. Ia berjalan hingga tepat di depan Zidane.
"Ngerencanain apa hm? Mau ngasih tau supaya dia ga deket-deket lagi?"
"Diem lo."
Hansen lagi lagi tersenyum dan berbisik.
"Usaha yang bagus, but nobody will believe you darling." Zidane bergidik ketika merasakan gigitan kecil di ujung telinganya akibat ulah Hansen.
"Hansen sialan!"
Part empat : sial! —end
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]
Fanfic"Bukannya makin deket sama Celline, malah dideketin gebetannya. Mana bisa kek gini anjir!" ••• Zidane yang baru saja diputuskan mantan pacarnya dengan beruntung dapat pindah ke sekolah mantannya dengan niat mendekatinya lagi. Tapi yang menjadi halan...