27 -Oh my...

2K 223 17
                                    

"Gud pagi?"

"Hah?"

Zidane mengernyit. Ia tahu bahwa ini adalah usaha Hansen untuk menggunakan kesempatannya.

Tapi masalahnya adalah—

"Ini hari libur loh."

"Yang ngajak kamu ke sekolah siapa? Ayo siap-siap!"












Zidane meraup oksigen sebisa mungkin, ia lebih baik duduk berjam-jam membaca buku fisika atau memainkan biola selama tiga jam tanpa henti.

Tapi tidak dengan kegiatan olahraga seperti ini!

Ia menatap Hansen yang sedikit jauh didepannya. Entah berapa banyak energi yang dimiliki oleh pemuda itu, hingga masih sanggup berlari sejauh ini.

Ugh! Bahkan kakinya sudah mulai kebas sekarang.

Tapi alih-alih mengejar pacarnya itu, ia memilih untuk menepi dan mendudukkan dirinya di salah satu kedai.

"Es jeruknya satu ya mang!"

"Siap, mas Zidane." Mang Eric, begitu sapaannya dengan cepat menyediakan pesanan yang diterima dengah sumringah oleh cowok keturunan China itu.

"Tadi bareng pacarnya ya mas?"

Zidane yang ditanyai itu hanya mengangguk malu. Ia masih susah terbiasa dengan statusnya sebagai pacar Hansen.

Apalagi dulu mereka bermusuhan.

"Cocok mas. Sama-sama ganteng."

"Tapi gantengan saya kan mang?"

"Gak sih, masnya lebih ke cantik. Gantengan mas siapa itu namanya—"

"Hansen mang."

"Eh ini masnya dateng."

Hansen tersenyum, kemudian mendudukkan dirinya disebelah Zidane dengan santai.

"Es jeruknya juga ya mas, diasemin dikit soalnya kalo manis ntar kemanisan soalnya ditemeni pacar."

"Ewh! Stop doing something cheesy, Hansen."

"Tapi kamu manis, Zi."

"Udah ah." Zidane menyeruput es jeruknya dengan cepat hingga ia tersedak.

"Tuh kan, kalo salting bilang yang. Kan keselek jadinya."

Zidane tentunya tidak merespon ucapan Hansen. Ia sudah kepalang malu melihat kelakuan Hansen tiga hari ini yang menurutnya terlalu aneh.

Cringe, cheesy dan sedikit menggelikan.

Ia tak terbiasa mendapat perlakuan seperti ini, terlalu aneh menurutnya.

"Mas, bubur ayamnya dua ya. Satu gak pake bawang goreng."

Zidane menoleh.

"Kamu belum makan kan? Sekalian aja disini, ga boleh telat loh makannya."








Sesampainya di rumah, Zidane masih saja betah dengan diamnya. Memikirkan hal-hal yang ia lakukan tiga hari belakangan ini.

Ia tak bisa menyangkal bahwa perasaan nyamannya sudah ada sejak lama kepada Hansen, jauh sebelum hubungan ini berjalan.

Tapi untuk menyimpulkan bahwa yang ia rasakan ini cinta bukanlah hal yang mudah.

Bagaimana kalau misalnya ini hanya perasaan sesaat, kemudian ia memilih untuk meninggalkan Hansen nanti?

"Mikirin apa?" Zidane mendelik begitu mendapat kecupan dipipinya.

"Mikirin lo." Jawabnya jujur.

Hansen menyerngit. Aneh sekali rasanya mendengar jawaban Zidane.

"Beneran mikirin aku?"

"Iya."

"Wow, impressive." Hansen tersenyum kemudin menarik Zidane dalam pelukannya.

"Udah mulai mikirin aku ya? Gimana? Udah suka sama aku?"

Zidane diam sejenak kemudian menggeleng. "Gak tahu. Itu yang gue pikirin."

Ia mengadahkan kepalanya ke atas, menatap ke arah dagu Hansen.

"Gimana kalo sampe seminggu ini, gue masih belum suka sama lo?"

Hansen terdiam sejenak, tetapi setelahnya tersenyum.

"Gapapa. Perasaan gak bisa dipaksa, sayang. Kalo emang sampe akhir gak bisa, aku yang bakal pergi. Aku gak bakal ganggu kamu lagi." Zidane bisa merasakan tangan Hansen mengelus lembut kepalanya.

"Letting u happy without me, its a part of love also. Ngeliat kamu bahagia aja udah cukup buat aku, Zi."

Sejenak, Zidane memikirkan sesuatu.

"Lo..beneran cinta ya sama gue?"

Spontan, Hansen melepaskan pelukannya pada Zidane dan menarik tengkuk itu hingga bibir mereka bersentuhan.

Lumatan demi lumatan ia berikan diatas bibir kecil Zidane, menyalurkan apa yang ia rasakan sejak tadi.

Namun belum sempat Zidane membalasnya, Hansen menjauhkan wajahnya dan menarik tangan Zidane di dadanya.

"Tau gak? Rasanya aku mau ngeobrak-abrik isi sekolah pas liat kamu sama Zidan atau sama Celline."

Kemudian Hansen kembali mendekatkan bibir mereka.

Dan kali ini, Zidane membalasnya.

Biarlah ia memastikan kembali perasaannya dengan cara ini.

Ia melumat pelan bibir Hansen, namun membiarkan ciuman itu didominasi oleh pemuda yang sudah menindih tubuhnya.

"Mmh.." Zidane melenguh sesaat ketika menyadari bahwa Hansen sedang menyerang lehernya.

Kecupan-kecupan ringan itu sudah cukup membuatnya melenguh, merasakan sensasi geli namun candu hingga membiarkan kepala Hansen disana yang sudah mulai menyapu lidahnya di permukaan leher Zidane

"Oh my.."

Bukan, itu bukan Zidane atau Hansen.

Tapi itu Gavin yang hendak masuk begitu tak mendapat balasan ketika mengetuk pintu rumah Zidane.

Part dua puluh tujuh : Oh my.. —end


Aku ngetik apa pliss😭😭😭

[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang