Ini sekilas awal mula Gavin ketemu Hanan ya.
Btw ini ceritanya waktu masalah keluarganya Hansen lagi berjalan. Dan ini connect sama chapt 14 diawal ya, sebelum Gavin nemuin Zidane minum bir didepan minimarket.So, Happy Reading!
Gavin meringis, pukulan sang ayah benar-benar terasa perih bahkan setelah tiga jam berlalu.
Keadaanya terlalu menyedihkan untuk kembali kerumah. Apa kata mama dan kak-oh, tidak. Mungkin Zidane akan khawatir dan mengomelinya panjang lebar, tapi itu tidak berlaku untuk Hansen.
Kakinya berjalan tanpa arah, benar-benar tanpa arah hingga ia sendiri tak sadar telah sampai di pinggir jembatan.
Oh, dramatis sekali.
Ia mengadahkan kepalanya, merasakan semilir angin yang teramat lembut menyapu wajahnya.
Ia tertawa, membandingkan sapuan angin dan telapak tangan ayahnya di wajah.
Rasanya hidup ini tak adil. Tidak ayahnya maupun mamanya, tak ada yang menginginkannya.
Seolah dunia mereka berputar pada Hansen. Hansen yang melanjutkan perusahaan, Hansen yang membanggakan mamanya, Hansen ketua osis kebanggaan sekolah, Hansen yang mendapat kasih sayang Zidane, dan segala keberuntungan lainnya yang melekat pada sang kakak.
Iri? Tentu saja.
Ia bahkan semakin merasa terbebani ketika ayahnya memaksanya untuk bisa membawa Hansen kembali.
"Buat apa? Kak Hansen udah bahagia. Kenapa papa gak pernah cukup sama gue?"
Menurutnya, ia sudah melakukan apapun untuk membuktikan diri kepada ayahnya. Apa yang diperoleh Hansen, pernah juga ia peroleh.
"Dia anak pertama. Sesuai aturan, anak pertama yang harus jadi penerus. Toh kakak kamu juga kompeten."
Gavin sekali lagi terbahak. Ayahnya benar-benar kuno.
Tak lama ia menunduk, menatap aliran sungai yang tenang dan terlihat damai. Tatapannya mulai kosong, pikiran-pikiran aneh mulai menjalar di kepalanya.
"Kayaknya mati disini enak deh, kali aja kehidupan gue bisa setenang air sungainya." Gavin menyengir.
Ia memejamkan mata, hendak menjatuhkan diri sebelum sebuah suara menginterupsi aksinya.
"KAKAK NGAPAIN?!"
Mata Gavin terbuka. Pekikan polos itu membuatnya berbalik, ia mengernyit.
Hampir saja Gavin terkecoh. Jika bukan karena seragam sekolah yang membalut tubuhnya, Gavin pasti akan mengira sosok itu adalah bocah SMP yang tersesat.
"Kakak jangan lompat."
Kalian fikir Gavin akan menurut? Tentu saja tidak.
"Lo gak tau apa yang gue alamin."
Cowok kecil itu tak hilang akal. Mencari cara agar Gavin tidak jadi melakukan aksinya.
"Tolong kak. Kakak ganteng loh, daripada mati konyol mending jadi idol kipop."
Gavin tertawa, ucapan bocah itu cukup menghiburnya. Tetapi tak mengurungkan niatnya untuk melompat.
Hanan-bocah yang dimaksud menyadari bahwa Gavin tak beranjak dari tempatnya berpikir keras. Mencari cara lain untuk menghentikam Gavin.
Sesaat kemudian, senyumnya melebar.
"AWAS KAK, ADA KECOAK!"
"Hah? Mana-AARGH!"
Sepertinya rencana Hanan tak berjalan mulus, Gavin tetap jatuh. Bukan karena bunuh diri, tetapi karena terpeleset akibat teriakan Hanan.
"Hatchi!"
Gavin tak berhenti bersin sejak tadi. Baju dan rambutnya sudah kering, tapi tetap saja bersinnya tidak hilang.
"Lo sih! Ngagetin gue." Gavin menggerutu. Hanan benar-benar mengacaukan rencananya.
"Tapi kok kakak percaya kalau ada kecoak? Mana ada kecoak deket sini." Sesaat Gavin terdiam mendengar ucapan bocah itu.
Benar, siapa yang akan percaya ada kecoak di pinggir jembatan?
"Lagian ya kak. Kalo kakak jatuh juga gabakal mati kalo bukan waktunya. Buktinya biar tetep jatuh masih aja selamat." Oh, penuturan polos Hanan membuat Gavin melongo.
Benar, ia sudah merasakan jatuh kedalam sungai tenang yang ia bayangkan. Tapi kalau bukan waktunya, tetap saja ia akan selamat.
Ia bahkan dengan santai berenang menuju pinggir sungai, dengan Hanan yang sudah menunggunya.
"Kak, dengan kejadian tadi aku yakin kalau kakak masih dikasih kesempatan buat hidup. Jadi, apapun alasannya. Kakak harus tetap hidup, ya?"
Gavin mengangguk. Sebenarnya ia berkali-kali mengerjapkan matanya. Rasa kantuk mendadak menyerangnya, celotehan Hanan bahkan sayup-sayup terdengar, hingga matanya memburam dan tertidur dipinggiran minimarket tersebut.
Mengabaikan Hanan yang memanggilnya.
Gavin mengerjapkan matanya. Hari sudah malam dan sialnya ia masih diposisi yang sama. Tertidur sendirian dan-
Tunggu, sendirian?
Dimana bocah berisik itu?
"Wah, gaada sopan santunnya si bocil." Gavin berdecak, tak habis pikir dengan bocah yang membiarkannya tidur.
Tapi setidaknya ia meninggalkan seragamnya. Sepertinya bocah itu menyelimutinya.
Lebih baik ia menghampiri Zidane yang sepertinya terlihat mabuk dengan menenggak banyak bir.
Soal seragam, ia akan mengembalikannya nanti. Semoga saja ia bisa bertemu bocah itu.
bonus chapter : our first meet -end
yang penasaran kisah gavin sama hanan, gimana?? hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]
Fiksi Penggemar"Bukannya makin deket sama Celline, malah dideketin gebetannya. Mana bisa kek gini anjir!" ••• Zidane yang baru saja diputuskan mantan pacarnya dengan beruntung dapat pindah ke sekolah mantannya dengan niat mendekatinya lagi. Tapi yang menjadi halan...