"Udah siap semua?" Zidan mengecek semua anggota tim dengan detail.
Kostum? Cek
Musik? Cek
Make up? CekBeruntunglah mereka memiliki Kiki yang bisa mendandani mereka dan meminjam peralatan make up super lengkap milik kakaknya.
"Coba deh, latihan sekali lagi sebelum tampil."
Zidane meremat tangannya gugup sambil menatap ke arah luar dari belakang panggung. Ini bukan hanya acara ulang tahun sekolah saja, tapi sekaligus dengan masa pengenalan sekolah untuk siswa baru atau sekarang sih namanya mpls.
Aneh, ia gugup di depan calon adik-adik kelasnya. Padahal yang lain dengan pedenya mencari perhatian di depan siswa-siswa baru dengan alasan pengen famous.
Dan sekarang mereka tampil untuk demo klub sekaligus mengisi acara penutupan.
"Tegang amat."
Zidane melirik ke samping dan menemukan Hansen tersenyum. Kegugupannya makin menjadi akibat cowok itu yang tiba-tiba menyapanya.
Beberapa hari terakhir khususnya setelah kejadian di malam itu, ia jarang bertemu Hansen ketika berada di dirumah. Karena urusan MPLS dan tentu saja ketua osis harus stand by mengurusi kegiatan tersebut walaupun sudah ada panitia yang terbentuk.
Ditambah ia memang sengaja mengabaikan keberadaan Hansen jika cowok itu tidak kemana-mana.
"Lo pikir aja sendiri." Jawabnya ketus.
Sedangkan Hansen masih saja betah dengan senyumnya. Ia tahu kalau cowok manis di sebelahnya ini memang ketus ketika berbicara dengannya.
Tapi ia merasa ada yang berbeda. Seperti sesuatu yang sengaja disembunyikan.
Hanya saja, dia tak tau dan bahkan tak punya petunjuk untuk itu.
"Nih." Ia menyodorkan kantung kresek berisi sebotol air dan dua bungkus roti.
"Gugup boleh, tapi jangan lupa perutnya diisi. Ngedance juga butuh tenaga. Kamu tadi pagi gak sarapan kan?"
Zidane memang tak sempat sarapan hari ini karena ia terlalu sibuk latihan dan ditambah mereka memiliki sedikit masalah di pagi hari yang membuatnya harus datang lebih awal.
Hansen yang ketua osis saja masih sempat sarapan, tapi Zidane tidak. Ataukah Zidane memang sengaja menghindarinya? Entahlah.
"Zi!"
Keduanya berbalik, disana ada Zidan yang berjalan ke arah mereka dan tersenyum.
"Maaf ya pak bos, gue mau pinjem calon jodoh gue dulu. Udah mau tampil nih."
Tanpa menunggu jawaban Hansen, Zidan lebih dulu menark tangannya menjauh.
Hansen mengernyit. Telinganya seperti digelitik mendengar penuturan Zidan.
Sudah sejauh mana hubungan mereka?
Diam-diam Zidane bersyukur bahwa Zidan membawanya kabur dari Hansen walaupun caranya sedikit memalukan. Terlalu lama berada di sekitar cowok itu membuatnya aneh sendiri.
Apalagi ia tadi melihat Hansen berangkat bersama Celline, pikirannya makin terganggu.
Memang biasanya ia terganggu dengan itu, mengingat dia sendiri tak terima sejak awal. Tapi pengaruh malam itu membuat perasaannya makin menjadi.
"Thanks ya Zi."
"No problem. Keliatan banget muka lo tadi tegang banget disebelah si boss. Gak nyaman ya?" Zidan tertawa.
"Bukan gak nyaman sih, cuma aneh aja. Gatau deh kenapa."
"Ya udah, jangan dilanjutin ngomongnya. Gue gak mau bikin lo gak nyaman. Udah, ayo siap-siap."
Klub dance bersorak. Penampilan mereka berlangsung dengan baik dan mendapat reaksi yang sangat bagus dari siswa-siswa baru yang menontonnya.
Dan sekarang Zidane sudah berganti pakaian dengan kaos putih dan celana trainingnya. Mengusap keringat dan membuka air yang diberikan Hansen tadi dan menonton demo ekskul lain dari sisi kanan aula yang memang disediakan selain untuk siswa baru.
"Disini lo ternyata." Zidan dengan cepat menepuk bahunya dan duduk di sebelahnya.
"Di backstage panas."
"Backstage backstage, udah kayak idol aja lo."
"Emang. Tuh liat aja ada yang lirik-lirik kesini." Zidane memasang senyum gantengnya ketika melihat siswi-siswi diam-diam tersenyum salah tingkah ke arahnya.
"Buset."
"Ya gitu deh nasih cowok ganteng." Zidane tersenyum bangga.
"Iya sih ganteng, tapi kalo lama-lama lo tuh manis tau gak Zi."
"Mulai lagi deh lo." Zidane sebenarnya sudah biasa dengan rayuan-rayuan Zidan yang memang dianggapnya hanya bentuk candaan itu.
"Bener deh, kalo lo perhatiin ya dari tadi bukan cuma anak-anak cewek yang merhatiin lo. Tuh." Zidan menunjuk ke arah siswa-siswa cowok yang terang-terangan menatapnya kagum, bahkan sampai nge-wink.
"Minimal kencingnya dilurusin dulu deh, baru lirik-lirik. Masi bawahan biru juga."
"Jadi kalo misalnya gue yang ngelirik lo, gapapa kan?"
"Zidan jangan mulai deh lo."
"Ikut gue. Apaan banget bahas yang beginian di pinggir panggung kayak gini."
Hansen mengedarkan pandangannya ke segala arah, berusaha menemukan Zidane. Tapi nihil, Zidane menghilang.
"Gue gak liat, bos. Tadi sih udah ganti baju terus keluar. Abis itu gue gak liat lagi." Jawab Tio ketika ia ditanya soal Zidane.
Bahkan Matthew yang biasa bersamanya hanya mengangkat bahu, tak tahu menahu.
"Kakak manis itu namanya kak Zidane kan? Yang tadi ngedance." Hansen terdiam, mencuri dengar dari salah satu siswa baru.
"Iya, tadi gue perhatiin keknya digoda sama kak Zidan abis itu di bawa deh gak tau kemana. Keliatan banget kak Zidan ngebet banget, padahal anaknya santai aja."
"Ya siapa juga yang gak demen sama kak Zidane? Emang sih bukan anak osis dan gak terlalu menonjol juga, kenalnya juga cuma di demo tadi, tapi sumpah doi keren banget!"
Hansen tak menunggu lagi pembicaraan mereka, ia tahu temannya itu membawa Zidane ke mana.
Atap.
Kebetulan atap hari ini tidak dikunci oleh penjaga sekolah.
"Zi, gue serius."
"Tapi gue gak yakin anjir! Bayangin kita baru berapa minggu temenan dan tiba-tiba lo bilang ini?"
Suara Zidane tertangkap jelas di telinga Hansen. Disana, ada Zidan yang berusaha meyakinkannya dan Zidane yang menatapnya tak percaya.
"Percaya deh sama gue. Coba aja dulu."
"Gue... ragu Zi."
"Coba deh sini deketan."
Dan setelahnya Zidane melotot kaget.
Part dua puluh satu : Zidan dan Zidane -end
hehe, haii
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]
Fanfiction"Bukannya makin deket sama Celline, malah dideketin gebetannya. Mana bisa kek gini anjir!" ••• Zidane yang baru saja diputuskan mantan pacarnya dengan beruntung dapat pindah ke sekolah mantannya dengan niat mendekatinya lagi. Tapi yang menjadi halan...