Pulang dari Pulau Zanzibar hari minggu malam, Sherina dan Sadam langsung beristirahat di kamar masing-masing. Mereka harus tidur cepat karena besok pekerjaan volunteer sudah menunggu dari pagi. Setelah saling berbalas pesan mengucapkan terima kasih dan selamat istirahat, mereka sudah siap di atas kasur masing-masing untuk terlelap. Sejak kecil mereka selalu terbiasa untuk saling berucap terima kasih dan saling mengabari setiap mereka habis berpergian bersama. Apalagi Sherina yang selalu setia menunggu kabar Sadam sudah sampai rumah atau belum karena lelaki itu selalu wajib mengantarkannya dulu sampai rumah.
Meskipun kali ini tentu saja rasanya sedikit berbeda setelah malam kemarin keduanya sama-sama sepakat untuk terbuka kalau sebenarnya perasaan diantara mereka lebih dalam dari yang mereka kira selama ini . Percakapan mereka malam kemarin berhenti di situ, karena setelahnya Sadam justru mengajaknya keluar hotel untuk berjalan-jalan menikmati angin malam lalu kembali ke hotel dan langsung tidur. Sherina tahu kalau ia dan Sadam sama-sama belum siap untuk saling jujur, karena mereka juga tau bahwa ini akan menyakiti banyak hati di luar sana.
Sherina yang tadinya sudah mencoba untuk tidur kemudian membuka kedua matanya menatap dinding kamar mess-nya. Pikirannya terlalu sibuk untuk dipaksa tidur. Perasaan seperti ini sangat mengganggunya. Apa yang harus ia lakukan?
Sherina mengambil ponselnya dari nakas samping tempat tidur. Ia kemudian membuka galeri dan melihat semua foto yang ada di dalamnya. Ia membuka foto dirinya bersama Devano, foto Flora dan Sadam yang ia potret diam-diam dari belakang saat di Pulau Kelor, dan foto-foto kebersamaannya dengan Sadam selama di Pulau Zanzibar kemarin. Devano orang baik, begitu pula dengan Flora. Rasanya hati Sherina ikut sakit membayangkan keduanya terlihat sedih karena kelakuannya dengan Sadam yang jujur, ia sendiri tidak bisa kendalikan.
Perasaan tidak bisa diatur, mereka akan bergerak dengan sendirinya mengikuti arus dan suara hati. Tapi, perasaan ini, sebenarnya memang sudah ada sejak dahulu walaupun harus Sherina akui, baru sekarang ia mau sadari keberadaannya. Setelah ia sadari, seharusnya mereka tidak perlu melibatkan Devano dan Flora sejauh ini.
Air mata jatuh dari kedua mata Sherina, ia benar-benar tidak tahu akan seperti ini semua kedepannya. Tapi yang pasti ia tahu hanyalah satu, Sadam berhak tahu perasaannya saat ini.
**********
Pagi hari Sherina disapa dengan suara alarm dan dering telepon yang saling bergantian berbunyi. Ia mengerjap pelan sebelum akhirnya sadar dan dan mengambil ponselnya yang ternyata sudah tertindih tubuhnya sendiri, semalam ia ketiduran setelah menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
.°。✧ 𝑨𝒃𝒐𝒖𝒕 𝑼𝒔 : 𝑹𝒆𝒘𝒓𝒊𝒕𝒆 𝑻𝒉𝒆 𝑺𝒕𝒂𝒓𝒔 ˎˊ-
Fanfiction"Hai, Nama kamu siapa? Nama aku Sherina." Gadis ceria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Sadam." Jawab anak laki-laki itu datar. Sebuah perkenalan singkat yang normal. Sebuah perkenalan normal yang akan membawa mereka pada takdir yang luar...