Sherina masih menangis di depan ruangan itu sambil berkali-kali menatap lampu diatas pintu tersebut berharap bahwa pijarnya segera padam membawa kabar baik untuknya. Ia terus berdoa sambil masih saja menyalahkan dirinya sendiri atas hal buruk yang terjadi pada Sadam saat ini. Andaikan saja ia tidak egois, Sadam pasti tidak akan terluka. ketika seharusnya saat ini lelaki itu sedang menikmati waktunya tertawa dan berdiskusi dengan teman-teman satu timnya di tempat penitipan anak, Sadam harus merasakan dinginnya meja operasi di negeri orang. Dan itu karena sikap sok pahlawan Sherina.
Sherina sebenarnya tak sendiri disitu. Irene yang sejak tadi sore setia menemani di rumah sakit hanya bisa menenangkan gadis itu dengan tepukan pelan di punggung. “Tenang, Sherina. Aku yakin Sadam akan baik-baik saja.”Gadis pirang dengan mata almond itu tersenyum sekedar menenangkan temannya.
Sherina menatap teman Eropa-nya itu. , “Aku takut Sadam kenapa-napa, Irene. Aku nggak tau aku harus apa.” Sherina berucap dengan suara lemah dan parau.
“Luka tembak itu benar-benar bergantung pada secepat apa penanganannya, dan Sadam mendapatkan itu dengan tepat. Tenaga medis tadi langsung menangani dengan cepat, untungnya Sadam juga cepat dioperasi. Jadi dia pasti akan baik-baik saja.” Jawab Irene bersungguh-sungguh. Pengalamannya dulu menjadi sukarelawan di daerah perbatasan membuat ia tahu pasti dengan fakta itu.
Mendengar penjelasan Irene, perasaan Sherina sedikit membaik. Walaupun hatinya masih sangat tidak tenang sebelum lampu di atas pintu ruang operasi itu mati. Sudah dua jam berlalu dan Sherina tidak tahu kapan operasi tersebut akan berakhir.
Sherina menatap nanar pintu operasi itu untuk kesekian kalinya berharap operasi selesai dan dokter keluar membawa kabar bahagia.
Sherina tidak tahu harus seperti menjalani hidupnya setelah ini kalau terjadi sesuatu yang buruk pada lelaki itu. Berulang kali ia mengeratkan genggaman kedua tangannya kuat-kuat, berdoa sekuat tenaga dan sebanyak mungkin untuk kelancaran operasi Sadam. "Ya Tuhan, kumohon selamatkanlah Sadam."Gadis itu membatin penuh harap.
Saat akhirnya lampu itu padam, Sherina seketika berdiri. Tak lama kemudian seorang dokter muncul dari balik pintu itu membuat Sherina menghampiri lelaki paruh baya tersebut. “Dokter, bagaimana temanku? Apa semua baik-baik saja?”
Dokter berambut putih itu terlihat tersenyum dari balik masker dan kacamatanya, “Operasinya lancar. Kami sudah berhasil mengeluarkan peluru itu dari tubuhnya. Kondisi temanmu saat ini juga sangat stabil.”
Sherina, Irene, dan beberapa teman Sadam yang ikut menunggu di sana seketika menghela napas lega, super lega.
“Kapan kami bisa bertemu dengannya, Dok?” Tanya Sherina tidak sabar.
“Kami harus memindahkannya dulu ke ruang perawatan. Setelah itu kamu hanya perlu menunggunya bangun. Pengaruh obat bius itu akan hilang dalam beberapa jam kedepan.” Jawab sang dokter sebelum ia pamit undur diri.
Irene kemudian memeluk Sherina dengan cepat, “Benar bukan yang kukatakan? Semua akan baik-baik saja, kan.”
Sherina membalas pelukan tersebut dengan perasaan yang jauh lebih tenang seraya tersenyum lemah, “Terima kasih sudah menguatkan aku sejak tadi, Irene."
“Sama-sama. Kalau begitu, ayo kita pulang. Sadam masih lama dalam pengaruh anestesi.” Ajak Irene sembari melepas pelukan mereka. Namun Sherina menggelengkan kepalanya.
“Kalian saja yang pulang, aku akan di sini sampai Sadam siuman.” Jawab Sherina dengan tegas.
“Tapi kamu pasti juga syok karena baku tembak tadi. Kamu juga harus istirahat.”
Sherina menggeleng sekali lagi. Oh, Sherina si kepala batu sudah kembali sepertinya. “Aku bisa istirahat di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
.°。✧ 𝑨𝒃𝒐𝒖𝒕 𝑼𝒔 : 𝑹𝒆𝒘𝒓𝒊𝒕𝒆 𝑻𝒉𝒆 𝑺𝒕𝒂𝒓𝒔 ˎˊ-
Fiksi Penggemar"Hai, Nama kamu siapa? Nama aku Sherina." Gadis ceria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Sadam." Jawab anak laki-laki itu datar. Sebuah perkenalan singkat yang normal. Sebuah perkenalan normal yang akan membawa mereka pada takdir yang luar...