𝑪𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝟐

1.1K 71 114
                                    

“Gimana nih Dam, aku takut.”  Sherina terdengar penuh penyesalan ketika dia menarik-narik lengan baju temannya itu.

Minibus yang membawa mereka sudah semakin mendekati Kemang, tempat tinggal mereka. Jangan tanya kenapa di Kemang. Tentu saja karena itu adalah keinginan Sherina. Gadis itu terlalu menyukai keramaian hingga dia memaksa mereka untuk tinggal di kawasan yang tak pernah tidur tersebut. Sadam? Dia hanya menuruti temannya itu karena dia hanya ingin Sherina selalu ada dalam jangkauannya. Menjaganya seperti biasa.

Sadam mendengus pelan sambil menatap malas pada gadis disampingnya. “Nggak ikutan. Yang ada nanti Devano makin jadi ngamuknya. Nggak deh, serem.” Oh tentu saja Sadam tak akan melewatkan kesempatan ini untuk menggoda Sherina. Pria itu bergidik seolah dia sedang membayangkan sesuatu yang sangat menyeramkan. Membuat gadis itu menghentakkan kakinya kesal.

Sherina berkali-kali menggerakkan kakinya sambil menggigit-gigit kukunya ketika Gedung tinggi itu sudah tampak. "Daaam." Gadis itu sekali lagi merajuk memohon pada Sadam.

Sadam melirik jam tangannya. “Sekarang udah jam sepuluh malem, kenapa dia ngotot ketemu sih?” Sadam akhirnya terlihat gusar. Bagaimana tidak? Selama dua tahun ia memantau sahabatnya berpacaran dengan Devano, ia selalu memastikan Sherina harus sudah pulang ke apartemen maksimal pukul sembilan malam.

Sedangkan sekarang sudah pukul 10 malam, ini di luar aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri dalam menjaga Sherina. Sadam menengok lalu menatap sahabatnya yang masih terlihat panik, “Suruh pulang aja, biar besok pagi ketemunya.”

Sherina menggelengkan kepalanya. “Tadi udah aku suruh gitu tapi dia nggak mau.”

Sekali lagi Sadam hanya menghela napas pelan. Sepertinya kali ini ia memang harus turun tangan lagi.

----------------------------------

Bunyi denting lift itu terdengar nyaring saat mereka tiba di lantai tujuh tempat unit apartemen Sherina berada. Dan benar saja, Devano sedang bersandar di pintu dengan kepala tertunduk dan tangan yang menyilangi dada. Anak kecil sekalipun tahu betapa murungnya lelaki itu. Sherina menelan ludah sambil berjalan lambat membiarkan Sadam beberapa langkah di depan agar bisa menghalangi gadis itu dari jangkauan sang kekasih.

Devano mengangkat kepalanya. Wajahnya yang murung berubah menjadi dingin  begitu ia melihat Sadam dihadapannya. Oh percayalah bukan lelaki ini yang ingin ia lihat. “Ngapain?” Tanya Devano datar.

Sadam tersenyum kaku, “Sorry, udah malem jadi gue nganter Sher ke kamarnya. Lo sendiri ngapain malem-malem ada di sini?”

“Harusnya gue nggak sih yang harusnya nanya, Dam?” Devano mengangkat tubuhnya dari pintu lalu melangkah menghampiri Sadam. “Lo ngapain bawa cewek orang keluar kota berhari-hari sampe pulang semalem ini?”

“Kita cuma jalan-jalan kayak biasa, Dev, kan lo tau–“

“Tapi gue nggak tau karena Sher nggak ada izin sama gue!” Devano terdengar kasar ketika dia memotong perkataan Sadam. Membuat Sadam menggertakkan giginya mencoba menahan emosi yang tiba-tiba ikut naik.

Sherina menghela napas keras. Menampakkan diri dari balik punggung Sadam. "Maaf Dev, aku salah.”

"Hey!" Suara bariton itu membuat ketiganya menoleh. Disana, dipintu sebelah, seorang pria paruh baya sedang berdiri menatap mereka tak suka. “Kalau mau ribut jangan disini. Ganggu orang istirahat aja.” Katanya kasar membuat tiga anak muda didepannya itu membungkukkan badan dan meminta maaf.

Sherina kemudian cepat-cepat membuka pintu unit apartemennya lalu mendorong Devano beserta Sadam untuk masuk.

“Kenapa Sadam ikut kamu bawa masuk?” Devano tak terima ketika dia mengikuti Sherina yang meletakkan tas dan jaketnya secara serampangan di atas sofa di ruang tengah.

.°。✧ 𝑨𝒃𝒐𝒖𝒕 𝑼𝒔 : 𝑹𝒆𝒘𝒓𝒊𝒕𝒆 𝑻𝒉𝒆 𝑺𝒕𝒂𝒓𝒔 ˎˊ-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang