Mahen & Jevan

411 43 1
                                    

Setelah Jevan menceritakan semuanya kepada Mahen, kini Jevan dan Mahen masih tetap ada di posisi masing-masing, dengan kepala yang sama penuhnya. Dan hal yang menyebabkan itu semua tidak salah dan tidak lain adalah, Reyhan.

Sudah hampir satu jam Jevan dan Mahen saling berdiam diri, mereka berdua masih duduk berhadapan, tidak bergeser sedikitpun dari posisi awal. Kepala mereka berdua terasa pusing, namun terlepas dari itu semua, Mahen dan Jevan memiliki perasaan yang sama.

Sama khawatirnya, sama takutnya, dan sama gelisahnya akan keadaan sosok mungil yang bahkan sampai saat ini masih enggan untuk membuka kedua matanya.

Jevan sedikit mendongakkan kepalanya, menatap Mahen yang kini mulai berdiri dan berjalan kearah brankar tempat Reyhan memejamkan mata, Jevan kembali menundukkan kepala ketika mendengar helaan nafas Mahen yang terdengar sangat berat. Laki-laki itu seakan sudah pasrah dengan semua yang terjadi.

"Adek..." Walaupun pelan, namun Jevan masih bisa mendengar suara itu dengan jelas. Itu adalah suara Mahen yang memanggil sang sahabat dengan lembut.

Cup...

Satu kecupan Mahen berikan di kening mulus Reyhan yang kini terasa dingin. Sebenarnya Mahen tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya, namun ia juga tidak ingin menangis dihadapan Reyhan, maka dari itulah Mahen memilih untuk tetap tegar dan beralih mencium kening sang adik dengan lembut.

"Maafin kakak, ya. Kalau aja tadi kakak nggak ikut beresin masalah Band kakak di kampus dan lebih milih buat jemput kamu ke sekolah. Pasti kamu sekarang lagi bobo dirumah bareng kakak"

"Kakak jahat, ya? Udah ngebiarin adek nunggu lama disekolah?"

"Maafin kakak ya sayang..."

"Tapi kamu juga jahat loh, dek. Kalau mau tidur harusnya pulang kerumah dulu, dong. Kan bisa kakak peluk nanti pas bobo..."

"Kenapa malah kesini? Adek lebih suka tidur disini, ya? Daripada di kamar? Adek lebih suka tidur bareng obat-obatan dibanding tidur bareng sama kakak. Iya?"

Hati Jevan ikut berdenyut sakit saat mendengar Mahen yang malah sibuk mengoceh seorang diri dihadapan raga Reyhan yang masih setia terlelap.

Jevan mengusap wajahnya untuk yang kesekian kalinya, ia melihat arloji digital yang bertengger dengan apik di pergelangan tangannya. Jevan menghela nafas panjang saat melihat angka 20.10 tertera disana.

Dan saat itu juga lah Jevan ingat, bahwa dirinya sudah melewatkan waktu makan malam.

'Pantes perut gue nggak nyaman daritadi, gue kan belum makan apa-apa. Terakhir makan waktu istirahat disekolah tadi' Batinnya dengan telapak tangan yang berada diperut.

Jevan mengalihkan atensinya ke arah Mahen berada, ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berkata;

"Bang, laper nggak?"

Mahen menggelengkan kepalanya pelan, tanpa mengalihkan atensinya pada raga sang adik.

Mahen tengah sibuk sekarang.
Sibuk memandangi wajah Reyhan yang masih saja terlelap dalam tidurnya.

"Kalau laper beli makanan di kantin, Jev. Gue nggak usah, gue udah makan tadi"

Bohong, Mahen berbohong kepada Jevan, karena pada nyatanya Mahen terakhir mengisi perutnya pada pukul dua sore tadi.

Percaya? Tentu saja tidak!
Jevan tidak percaya dengan itu semua, karena mau bagaimanapun Mahen berusaha berbohong, nada bicara dan lemahnya tubuh laki-laki itu lebih membuktikan jika Mahen tengah menahan rasa lapar.

Namun karena tidak ingin berdebat, maka Jevan segera pergi keluar dari ruangan itu, dan melangkahkan kakinya menuju kantin, untuk mengisi perut sekaligus membelikan makanan untuk kakak sahabatnya yang menurutnya memiliki sifat keras kepala.

____________________

"Bang" Mahen mendongakkan kepalanya dan menatap Jevan yang tengah berdiri disampingnya dengan sebuah kantong plastik ditangannya.

"Nih, makan dulu" Ucapnya sambil memberikan kantong plastik ditangannya yang berisi satu bungkus nasi padang.

Mahen menghela nafas panjang, ia kembali menatap Reyhan sejenak sebelum akhirnya menerima kantong plastik dari Jevan.

"Thanks" Jevan hanya menganggukkan kepalanya untuk merespon ucapan Mahen.

Mahen pun memakan makanan yang Jevan belikan, dan tak butuh waktu lama laki-laki itu sudah menyelesaikan acara makan malamnya.

"Nggak pulang, Jev?" Tanyanya ketika melihat Jevan hanya duduk termenung di sofa, padahal hari sudah cukup gelap.

Jevan yang tengah melamun pun seketika tersentak, dan menatap Mahen.

"Hah? Ah eng-enggak bang. Gue mau nginep disini aja. Mau sambil jagain Reyhan juga, biar lo nggak sendirian"

"Nggak dicariin sama bonyok?" Jangan salahkan Mahen jika ia bertanya demikian. Karena demi apapun, Mahen memang tidak mengetahui latar belakang keluarga dari sahabat adiknya itu.

Melihat ekspresi Jevan yang seketika berubah, Mahen sedikit mengernyitkan dahi.

"Bonyok gue nggak ada dirumah, bang"

"Mereka pisah dan ninggalin gue sendiri dirumah itu"

"M-maaf, Jev. Gue nggak bermaksud nyinggung lo. Maaf, gue beneran nggak tau kalau orang tua lo pisah"

Mendengar suara Mahen yang terdengar panik, Jevan hanya tersenyum manis.

"Nggak apa-apa kali, bang. Santai aja. Lagian gue udah nggak baper kok kalau ada orang yang nanyain kaya gituan. Udah kebal, udah ikhlas gue sama ini semua"

Mahen menganggukkan kepalanya pelan. Jevan tidak mengerti apa yang terjadi, namun berada di sisi Mahen dan mengobrol seperti ini berhasil membuat hatinya merasakan getaran asing. Getaran asing yang sudah lama tidak ia rasakan.

Dan jika boleh jujur, sebenarnya Jevan ingin mengobrol lebih banyak dengan laki-laki yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya itu.

"Kalau boleh tau, udah lama?" Mahen bertanya dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin membuat Jevan merasa tidak nyaman karena perkataannya.

"Udah, sejak usia gue 14 tahun"

"Semenjak resmi pisah, mereka udah nggak perduli lagi sama gue. Mereka nikah sama orang pilihan mereka masing-masing, dan ninggalin gue sendirian di rumah itu tanpa rasa kasihan" Mahen menatap Jevan dengan tatapan sendu.

"Yang sabar ya, Jev"

"Iya bang, udah santai aja" Jevan tersenyum.

"Dokter Sean tadi kesini lagi ya, bang? Waktu balik dari kantin gue ketemu sama beliau di koridor soalnya" Tanya Jevan mengalihkan topik pembicaraan, Mahen menghela nafas panjang, lalu mengangguk.

"Iya. Gue yang manggil. Tadi badan Reyhan dingin banget soalnya"

"Takut adek gue kenapa-napa"

Kini giliran Jevan yang menghela nafas panjang. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya lemah, dan tidak berkata apapun lagi selama hampir lima menit.

Melihat kearah sang sahabat yang masih setia dalam tidurnya, membuat Jevan kembali merasakan gelisah yang teramat sangat.

Namun karena kepalanya yang entah mengapa lama kelamaan terasa semakin pusing, Jevan yang mulai tidak kuat untuk menahan lagi pun merebahkan tubuhnya di sofa yang ia duduki, dan hanya dengan hitungan menit, laki-laki yang memiliki eye smile itu sudah terbang ke alam mimpi.

Meninggalkan Mahen yang kini sudah kembali pada posisi awalnya, yakni berada di samping Reyhan. Ia tidak berhenti memberikan afeksi kecil pada raga sang adik, berharap netra rubah itu akan segera terbuka. Walaupun sebenarnya ia tahu, jika hal itu tidak akan terjadi dengan mudah, tanpa adanya kehadiran Tuhan.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang