22. Kamu adalah saya

2K 76 9
                                    

Adira keluar kamar saat Bu Ismi mengetuk pintunya itu. Mata sembab dan penampilan kacau.

"Aya mau ketemu mamahnya."

Adira melirik Fayazana di gendongan Bu Ismi dengan sedih, lalu Adira memeluk Bu Ismi kembali menangis, diikuti Fayazana disana.

"Ibu, mas Gema jahat hikss hikss..." ucap Adira seraya menangis sesenggukan dipelukan Bu Ismi.

Bu Ismi mengusap punggung Adira merasa kasihan kepadanya, meskipun Adira hanya tetangganya, tetapi Adira sudah seperti anaknya sendiri dari awal pindah.

"Adira gak kuat, sakit Bu." Ucap Adira.

"Ssttt, Adira kuat, jangan bilang gitu Adira pasti kuat." Tutur Bu Ismi.

Adira terus menangis bersahut-sahutan dengan Fayazana.

"Jangan menangis ya, kasihan Aya." Tutur Bu Ismi mengusap air mata Adira.

"Kasihan adik bayi juga." Tutur Bu Ismi lagi mengusap perut Adira.

Setelah Adira merasa tenang dan tidak menangis, dia menggendong Fayazana dan mengusap punggungnya sangat kasihan.

"Maafin mamah ya sayang." Lirih Adira dianggukan pelan oleh Fayazana.

"Ibu siapin makanan untuk Adira, pasti laper kan seharian di kamar." Ucap Bu Ismi bergegas pergi ke dapur.

Adira mengusap air mata Fayazana yang masih sesenggukan. Tangan mungil Fayazana pun sama, mengusap pipi Adira.

"Gak bowleh nanis."

Adira mengangguk. "Mamah gak nangis kok sayang."

Fayazana kembali memeluk Adira di gendongannya. "Sekali lagi mamah minta maaf ya."

Ding, dong...

Adira mendengar bel di rumahnya berbunyi keras. Dia berjalan menghampirinya seraya menggendong Fayazana.

Grekk!

Matanya membulat saat melihat Hanggini basah kuyup hujan-hujanan menghampiri rumah Adira.

"Izinkan saya menjelaskan mba."

****

Adira menutup pintu kamar Fayazana, setelah membuatnya tertidur pulas. Kemudian Adira menghampiri Bu Ismi dan Hanggini yang berada diruang keluarga.

Adira memberikan dia handuk kecil. "Di keringin dulu nanti masuk angin."

"Makasih mba."

Bu Ismi beranjak bangkit. "Ibu pulang dulu–"

"Adira mau ibu menjadi saksi atas pembicaraan dia." Cegah Adira membuat Bu Ismi mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Silahkan berbicara, saya tidak ingin lama-lama menerima tamu." Ketus Adira.

Hanggini merasa sangat tidak enak, apalagi sepertinya Adira sedang kacau dan marah.

"Saya dan pak Gema–"

"Bertemu dengan tidak sengaja sebagai Dosen dan Mahasiswi biasa." Ucap Adira memotong ucapan Hanggini.

"Saya sudah tahu karena apa yang kamu rasakan saat ini adalah kehidupan saya delapan tahun silam." Ungkap Adira.

"Itu sebabnya pak Gema sama sekali tidak mencintai saya, dia cuma mengulang masalalunya bersama mba Adira lewat saya."

Adira mengernyit. "Maksudnya?"

"Pak Gema menikahi saya cuma karena kehidupan saya sama seperti kehidupan mba Adira. Pak Gema tidak ingin apa yang dilakukan saya dilakukan juga kepada mba Adira dulu, itu sebabnya dia bertanggung jawab untuk kehidupan saya mba." Jelas Hanggini masih membuat Adira mencermati perkataannya.

"Pernikahan saya sudah berjalan tiga bulan lamanya mba, tapi pak Gema sama sekali tidak menganggap saya sebagai Hanggini, pak Gema selalu menganggap saya adalah mba Adira. Apa yang dilakukan pak Gema untuk mba Adira, dilakukan juga kepada saya." Jelas Hanggini.

Adira melihat cincin ditangan Hanggini, itu sebabnya Gema memberikan cincin Adira dan Hanggini dengan sama.

"Tapi sama saja kalian sudah menikah dan mas Gema sudah mempoligami saya secara diam-diam." Ujar Adira masih tidak terima.

"Mba–"

Adira menepiskan tangan Hanggini yang tiba-tiba menyentuhnya.

"Mba, disini saya dan mas Gema memang salah, tapi saya juga menyesal mba."

"Apa yang kamu sesali? Bahkan kamu sudah merebut suami saya." Tegas Adira.

Hanggini menundukkan kepalanya mengeluarkan sebuah testpack kepada Adira. Adira menerimanya dan melihatnya dengan air mata berjatuhan.

"Saya hamil mba, saya hamil anak pak Gema."

Bu Ismi mengusap punggung Adira membantu membuatnya tegas, karena saat ini Adira sudah menangis.

"Saya menyesali perbuatan saya, pak Gema sama sekali tidak menginginkan anak ini, dia menyuruh saya menggugurkan anak ini." Ucap Hanggini ikut menangis.

"Itu bukan saya, dulu Mas Gema sama sekali tidak ingin anaknya saya gugurkan, kenapa sekarang dia malah ingin kamu menggugurkan bayi kamu?"

"Pak Gema hanya mencintai mba Adira, pak Gema cuma ingin mba Adira yang hamil anaknya bukan saya. Seperti yang saya bilang dari awal mba, pak Gema menikahi saya karena tanggung jawab atas kehidupan saya, saya telah disiksa oleh ibu tiri saya karena saya tidak ingin dijodohkan oleh pria tua kaya raya."

Adira terdiam dengan air mata terus mengalir mendengar Hanggini membicarakan semuanya.

"Mba," Hanggini berjongkok dibawah menyentuh tangan Adira.

"Saya menyesal atas perlakuan saya mba, saya menyesal telah membohongi mba Adira selama ini."

Adira hanya diam.

"Pak Gema memang baik kepada saya, dia sudah membiayai kehidupan saya mba, pak Gema juga sudah bisa menyadarkan ibu saya menjadi tidak menyiksa saya terus menerus. Saya ingin meminta mohon sama mba Adira saat ini, tolong jangan menyuruh Pak Gema untuk menceraikan saya, saya mohon mba."

"Saya gak sanggup kalo harus mengurus anak ini sendirian mba, saya cuma seorang mahasiswa biasa."

Hanggini menunduk masih memegangi tangan Adira memohon kepadanya.

"Yang seharusnya kamu lakukan sekarang adalah sadar diri, bukan memohon kepada orang yang disakiti. Kita sama-sama perempuan, kamu dengan lukamu, saya dengan luka saya, gak ada kehidupan yang berjalan dengan baik-baik saja. Jika hari ini saya terluka, mungkin kemudian hari juga kamu sama-sama merasakannya."

Hanggini tercengang atas ucapan yang Adira lontarkan itu.

"Kamu bilang Mas Gema menganggap kamu adalah saya, mungkin akan ada hari dimana kamu sama-sama disakiti seperti saya." Ucap Adira langsung melepaskan tangan Hanggini dan beranjak bangkit.

"Mba–"

"Silahkan pulang, saya tidak menerima tamu lagi." Usir Adira begitu saja.

"Mba, saya mohon tolong saya."

"PERGI DARI RUMAH SAYA!" Bentak Adira cukup keras.

"PERGI!"

Hanggini beranjak bangkit menarik tas kecil yang dia bawa dengan bersedih.

"Terimakasih mba atas waktunya." Ucap Hanggini bergegas pergi dari hadapan Adira.

Adira kembali runtuh saat perempuan itu menghilang dari hadapannya, dia terduduk dengan menangis. Bu Ismi langsung memeluk Adira yang menumpahkan tangisnya itu.

Adira memegang perutnya yang sudah membuncit itu. Mengapa dunia begitu jahat kepadanya, bahkan Adira sedang mengandung anak dari Gema.

"Kamu kuat dir." Ucap Bu Ismi.

______________

Nextpart

Jangan lupa vote dan komen ya guys:)

ADIRA : MY PRECIOUS WIFE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang