Prolog

314 21 6
                                    

Seorang pemuda menengadahkan telapak tangannya, menampung aliran tangis dari awan hitam yang menghiasi langit meski zat cair tersebut hanya akan berakhir ditanah. Berteduh di depan sebuah toko yang menjual ratusan buku dengan jaket tipis yang membalut tubuhnya.

Nyatanya, susunan daging berotot itu tak terusik oleh hawa dingin yang dihantarkan udara malam yang bersatu dengan angin sebagai pelengkap dihari hujan. Tubuhnya sudah terlalu kebal dengan kekejaman dunia yang ia terima sejak masih belia. Oleh sebab itu, terpaan hujan berangin sama sekali bukan masalah besar baginya. Seorang diri mencandai derai air hujan seolah kegiatan tersebut adalah satu-satunya hal menarik untuknya.

Ketika kebisingan kecil tertangkap indera pendengarnya, ia menoleh ke samping untuk mendapati seseorang baru saja menempati ruang kosong di sebelahnya. Tampak bersidekap guna menghangatkan badan. Ia menilai, dari mantel tebal dengan merk ternama yang digunakan, ia tau bahwa seseorang di sebelahnya memiliki nominal yang banyak didalam dompetnya.

Kesenjangan ekonomi di bumi Korea Selatan memang nyata adanya. Berbeda dengan apa yang terlihat di media sosial, dimana disana yang tampak menonjol dari negeri gingseng itu adalah kemegahan dari dunia hiburan saja. Halliyu wave memang dapat membutakan mata dunia. Kondisi asli rakyat Korea Selatan tidak seindah gemerlapnya panggung idola.

Ia memandang sosok di sebelahnya dengan tatapan datar, sama sekali tidak terkejut dengan perbedaan yang signifikan antara si miskin dan si kaya. Dalam benak ia berucap-

"Hidup memang tidak adil."

Tampaknya yang di perhatikan mulai sadar dan merasa tidak nyaman. Hingga sosok itu balas menatap sebagai sebuah teguran tanpa suara. Pandangan keduanya lantas bersiborok.

Dan ia tertegun.

Mata jernih dengan iris berwarna cokelat itu seperti pernah ia lihat. Dengan tatapan tajam namun terkesan lembut disaat yang bersamaan. Dua bongkah kristal yang tersimpan dalam naungan kelopak dengan bulu mata lentik itu tersimpan rapi dalam ingatannya. Ia pernah mengenal dekat seseorang dengan ciri khas mata seperti itu.

Seseorang yang pernah sedekat nadi dengannya. Namun terpisahkan oleh sebuah tragedi tak terduga.

"Ada sesuatu yang ingin anda katakan Tuan?"

Ia tersentak tatkala bibir tipis berwarna peach milik sosok tersebut mengumandangkan sebuah tanya dengan nada ketus yang tidak berhasil menyamarkan amarah tertahan dari sang empunya. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.

"Jika tak ada, maka berhentilah memandangi wajah saya. Anda membuat saya tidak nyaman."

Teguran tersebut melandasi pergerakan lehernya untuk menghadap kedapan, kembali menatapi deraian air hujan yang tampak tak ingin berhenti. Sosok disampingnya mendengus karena harapan untuk mendengar kata maaf atas tindakan kurang sopan beberapa saat lalu tidak direalisasikan.

Ketika sebuah mobil mewah dengan harga ratusan juta Won berhenti tepat di hadapan mereka, ia sudah bisa menebak untuk siapa tumpukan uang berjalan itu dihadirkan.

Benar saja, tak lama kemudian ia mendapati punggung dari sosok disampingnya berlari menerobos hujan untuk menaiki kuda besi yang pintunya otomatis di bukakan oleh seorang pria dengan setelan jas bermerk tingkat tengah.

Ia mendengus. Bahkan harga pakaian dari seorang supir masih lebih mahal dari pada pendapatannya selama seminggu sebagai Cleaning Service. Tidakkah sang sopir terlalu memaksakan diri dengan membeli setelan jas yang cukup mahal untuk seseorang yang bekerja sebagai budak orang kaya?

Ketika mobil itu melaju pergi meninggalkannya seorang diri seperti keadaan sebelumnya, benaknya kembali membatin,-

"Kau pasti sangat membenciku hingga semua tentangmu tak pernah bisa hilang dari ingatanku. Baiklah, benci aku sebesar yang kau bisa. Aku akan menebus semua kesalahanku di neraka kelak."

On Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang