13 Tolok Ukur Kebahagiaan

70 15 0
                                    

Seorang Sehun tengah duduk sendirian di sebuah gazebo yang terletak pada halaman depan gedung panti asuhan. Selain lampu dengan cahaya temaram yang terpasang di atap gazebo, sinar rembulan dan bintang-bintang di langit malam juga turut menerangi kesendiriannya.

Memang, ia dan Chanyeol memutuskan untuk menginap di panti untuk malam ini. Terlalu asyik bermain bersama anak-anak panti yang menggemaskan, keduanya baru sadar bahwa hari sudah terlalu malam untuk melakukan perjalanan pulang ke Seoul. Dan Ibu Kim memaksa mereka untuk menginap dengan alasan keselamatan.

Maklum saja, panti asuhan yang mereka kunjungi berada di daerah yang cukup terpelosok dan jaraknyapun jauh dari perkotaan. Jalanan menuju kesana juga lumayan buruk dengan banyak belokan yang di beberapa sisi terdapat jurang serta cukup banyak jalanan berlubang hingga berbahaya untuk dilewati pada malam hari yang gelap.

Usai makan malam bersama seluruh penghuni panti dengan suasana hangat yang menyenangkan, Sehun memilih untuk menyendiri di tempat ini. Melamun dengan isi kepala yang berkelana tak tentu arah.

Banyak hal yang ia pikirkan, yang tanpa sadar menjadi beban untuk pundaknya. Namun tak ada tempat untuk berbagi. Beberapa hal yang tak bisa ia bagi ceritanya pada Joo Hyuk sang sahabat karena beberapa pertimbangan.

Helaan nafas lelahnya berbaur dengan hembusan angin malam. Kemudian ia menengadah hanya untuk menatap langit yang berteman bulan dan bintang.

"Langit, bisakah kau turunkan hujan? Aku ingin menangis tanpa terlihat. Ingin bersedu tanpa terdengar."

Bukan. Kalimat itu datangnya bukan dari bibir tipis Sehun. Melainkan dari sesosok makhluk mungil yang entah sejak kapan sudah duduk di bagian pojok gazebo, sekitar dua langkah dari tempat Sehun duduk.

Sehun menoleh kesumber suara. Dirinya sempat terkejut, namun dahinya berkerut setelah sadar bahwa sekarang sudah terlalu malam bagi anak berambut panjang yang dikuncir dua itu untuk berada di luar.

"Hai Dik, kenapa kau keluar malam-malam begini? Bukankah ini waktunya kau untuk tidur?"

Gadis kecil yang mulanya menatap langit itu beralih pada Sehun. Wajah polosnya membuat Sehun hampir memekik gemas.

"Eonni juga diluar malam-malam begini. Kenapa aku tidak boleh?"

Sehun terkejut dengan sebutan Eonni yang ia dapatkan.

"Eo.. eonni? Aku?"

Sehun menunjuk hidungnya sendiri. Anak itu mengangguk, lalu berucap lugi.

"Tentu saja, siapa lagi?"

"Hei, aku laki-laki. Kau seharusnya memanggilku Oppa. Atau mungkin Ahjussi?"

Sehun tidak yakin apakah diusianya yang sudah menginjak kepala dua ini ia harus mendapat predikat Oppa atau Ahjussi dari anak yang ia tebak baru berusia sembilan tahun itu.

"Bohooong! Mana mungkin laki-laki secantik Eonni!"

Anak itu menyangkal, dimana hal itu membuat Sehun cukup kesal. Padahal para gadis diluar sana selalu memujinya dengan kata tampan. Sehun merasa terhina ketika gendernya sebagai lelaki diragukan. Tapi mau bagaimana lagi, makhluk mungil dihadapannya ini hanya seorang gadis kecil berusia sembilan. Sehun tak akan bisa marah padanya.

Sang pemuda Oh menggeser duduknya mendekati si gadis cilik yang kini harus menengadah untuk melihat wajahnya. Sehun tersenyum begitu indah, membuat gadis kecil dihadapannya terperangah akibat terpesona. Sehun menjapit bagian bawah dagu anak itu dengan telunjuk dan ibu jarinya, kemudian berucap-

"Yang cantik itu kamu, bukan aku."

Si gadis cilik mengedipkan matanya dengan polos.

"Benarkah?"

On Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang