Namun satu hal yang selalu dia percayai adalah meskipun hanya satu atau dua orang, diluar sana pasti ada yang mau membaca tulisannya sampai selesai.===
Orang-orang di sini sibuk sekali dengan urusannya sendiri, sampai tidak sempat melirik seorang pria berkemeja putih yang duduk menjawab teleponnya di lorong dekat ruangan di mana Sadira dan kedua temannya terkurung.[Pak, nanti kalo ibu tau bapak lewatkan rapat lagi saya yang dimarah-marahi!] Suara wanita dari seberang sana sembari menghela napas pelan.
"Nggak dilewati tapi diundur aja kok. Satu jam ... oh nggak, dua jam mungkin." Dandy duduk bersandar dengan tenang. Duduknya tegap, tangan kanannya memegang ponsel dan tangan kirinya terlipat rapi didepan perut ratanya.
[Pak maaf-- TAPI SEMINGGU INI BAPAK NGGAK KERJA YANG BENER, BISA-BISA SAYA YANG DIPECAT IBU KALAU BEGINI-- kalo bapak nggak butuh kerja, pak saya yang butuh kerja.]
Ibu yang dimaksudkan diobrolan ini adalah ibu Dandy yang juga masih turut andil dalam urusan kantornya, bisa dibilang ibunya juga masih atasannya.
"Memang jadi sekretaris bukan passionmu, nanti saya carikan pekerjaan lain kalau dipecat. Saya tanggung jawab kok--"
[--Pak Dandy bukan begitu cara kerjanya, maksud saya--]
"--Iya, boleh kok! Ide bagus. Undur satu jam dulu, terus nanti kamu ikut rapat sampai saya datang ya! Terima kasih atas pengertiannya, nanti saya kasih insentif."
Ponsel itu dia tutup tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya di seberang sana. "Orang ini paling suka teriak-teriak, jiwa wartawannya masih terasa."
Dandy melirik ruangan di mana Sadira berada, dia berdecak pelan namun senyum tipis terpahat diwajahnya. Gadis itu menolak dengan tegas untuk keluar bersamanya, padahal kedua lelaki di sana sudah ikut membujuk. Ya, mau bagaimana lagi? Dandy tahu betul, putrinya memang selalu keras kepala dan mengalah adalah satu-satunya cara mengatasi situasi yang jelas akan dimenangkan si gadis bunga.
"Nanti Pa, masa Dira mau tinggalin teman-teman Dira yang terluka gini? Papa tunggu diluar aja!" Ucapnya tadi yang mau tidak mau membuat Dandy mengundur rapat dan berakhir duduk dengan tenang di lorong ini, juga menunggu entah Robi atau Amina yang akan datang untuk membebaskan putranya.
Tadi sebenarnya Dandy sudah berbicara kepada mereka untuk melepaskan ketiganya namun mereka tidak mau dan meminta walinya sendiri yang datang menjemput. Malangnya nasib Gatras.
Tapi satu hal yang sedikit menggangu pikirannya, bukan luka-luka yang diterima Sadira karena bagi Dandy sendiri melihat Sadira yang teluka bukan hal yang baru, malah banyaknya wartawan yang memenuhi jalanan di Artemis membuat Dandy lumayan bertanya-tanya kenapa istrinya malah memilih duduk manis di rumah saja?
"Halo, Ma--" Dandy berbicara setelah sambungan itu tersambung, "--Mama di mana?"
[Hm? Di rumah Pa-- Naldo, plus dua lagi? curang ih kamu!]
"Loh, kenapa nggak belajar Naldo, Ma?"
[Pa, aku kan diskors, nggak boleh sekolah dua hari jadi buat apa belajar ... NAH MAMUY KALAH!] Kata Naldo asal menyahut setelah mendengar obrolan itu karena suara yang dikeraskan Mamuy dari ponselnya.
Dandy menghela napas pelan, menunggu istrinya yang sedang mengomel, mengomentari strateginya sendiri yang benar menghantarkan pada kekalahan. "Datang ke Artemis deh Ma, banyak wartawan tadi di sana."
[Mau ngapain di sana, Pa? Mereka udah berikan semua berita yang publik mau. Mama udah nggak kebagian berita.]
"Biasanya mama yang paling semangat kalo ada hal kayak gini, tumben malah dirumah aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BERJIWA
General FictionTangannya sudah tidak bersih lagi karena pembalasan atas kehilangan, kemarahan, kesedihan, dan dendam tidak tuntas dibayar dengan air mata namun darah juga lengsernya para penguasa. Dimulai : Januari 2024 Diselesaikan : -