Chapter (41) Kepanikan

1.7K 143 2
                                    

Jeno sebenarnya patut diapresiasi jika saja ada perlombaan suami siaga dan penuh kasih sayang selama menemani hari-hari istrinya semasa kehamilan. Selama itu Jeno tidak ada keluhan sama sekali, dia malah menikmati perannya sekarang. Tetapi sebaik mana manusia berusaha, terkadang ada-ada saja kejadian yang tidak diinginkan.

Pagi itu Jeno sedang berada di kantor, dan akan pulang pada jam makan siang, lalu akan kembali lagi ke kantor besok paginya lagi. Ya, Jeno hanya setengah hari berada di kantor semenjak kandungan Jaemin sudah masuk bulan ke-8. Dia begitu mengawasi pergerakan Jaemin, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Juga Jeno selalu ketakutan melihat perut Jaemin yang terlalu besar.

Dan hari ini, sesuatu yang Jeno takutkan terjadi. Rasanya jantung Jeno berhenti sesaat mendengar kabar dari saudaranya kalau Jaemin jatuh di kamar mandi, dan sekarang tengah di perjalanan ke rumah sakit ditemani Renjun yang kebetulan juga menginap dikediaman Lee. Jeno pergi dengan terburu-buru membuat Hendery kebingungan.

Ketika Jeno sampai di rumah sakit Jaemin sudah masuk ruang operasi. "Mereka tidak akan kenapa-kenapa, kan?" Jeno menatap kosong pintu ruang operasi.

"Jaemin bahkan masih bisa tersenyum. Jangan khawatir, Jaemin membutuhkan senyumanmu, bukan wajah khawatirmu." Renjun menarik adik iparnya itu untuk duduk di samping Eric.

Jeno malah mendapati noda darah di lengan kakak iparnya, juga di lengan kemeja yang Eric kenakan. "Jangan berbohong padaku." Lirih Jeno. Pikiran negatif lebih menguasai pikirannya. "Harusnya aku sudah mengambil cuti. Harusnya aku tetap menjaga mereka."

"Bukan hanya kau yang menjaga mereka, kita semua. Aku ada di rumah tadi, tapi yang namanya kecelakaan tidak bisa dihindari. Buang pikiran negatifmu itu, jangan jadikan sebagai sugesti yang membuat rasa bersalahmu menumpuk berlebihan." Lagi, Renjun memberikan nasehatnya walaupun itu terdengar cukup kejam, tampak seperti orang yang tidak punya rasa khawatir, bahkan terlalu santai melihat saudarinya tengah berjuang. Namun itulah Renjun, dia khawatir, tapi sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Selebihnya tidak ada suara dari ketiganya. Mereka menunggu dalam diam, bahkan tidak punya keinginan untuk menghubungi pihak keluarga yang lain. Cukup lama mereka menunggu dalam keheningan, tiba-tiba saja pintu ruang operasi terbuka, sontak ketiganya mengarahkan pandangan ke satu tempat yang sama.

"Suaminya nyonya Lee?"

"Saya, Dok." Jeno mendekati sang dokter dengan harap-harap cemas.

"Mari ikut saya masuk."

--^

Kadang Jeno berpikir Jaemin adalah seseorang paling tangguh baik fisik maupun mentalnya. Dari awal Jeno bertemu dengan lelaki berdarah Nakamoto ini, hingga mereka terikat oleh janji pernikahan, Jaemin selalu bisa menguasai dirinya, seperti apa yang diinginkannya. Mungkin Jaemin menyerah apabila itu memang yang diinginkannya. Jeno bersyukur akan hal itu, karena Jeno tahu bahwa Jaemin menyayangi anak-anak mereka, walaupun diawal sempat menolak kehadiran anak mereka, jelas, kerena kelakukan Jeno sendiri.

Besok harinya pada waktu pagi menjelang siang hari, Jaemin yang telah melewati masa kritisnya tadi malam, kini mata Jaemin perlahan-lahan terbuka. Jeno yang selalu berada di sisi Jaemin tampak terkejut kala ada yang menyentuh lengannya, sontak Jeno mengalihkan perhatiannya dari iPad-nya. Wajah terkejut Jeno di balas dengan senyum tipis dari Jaemin, Jeno sampai lupa berkedip beberapa saat.

"Kamu sudah selesai istirahat? Apa ada yang sakit atau membutuhkan sesuatu? Aku panggil dokter dulu untuk memeriksa keadaanmu, ya." Tutur Jeno dengan suaranya yang terdengar lembut.

Jaemin menggeleng mendengar rentetan pertanyaan Jeno. "Haus." Satu kata keluar dari mulutnya dengan suara terdengar serak.

Jeno mengambil minum yang tersedia di nakas, kemudian membatu Jaemin untuk minum. Sedangkan matanya fokus menatap wajah Jaemin sampai si pemilik wajah keheranan.

"Bagaimana keadaan dua printilanmu?" Tanya Jaemin setelah kembali merebahkan dirinya.

"Hah?" Jeno melongok tidak mengerti maksud Jaemin.

"Si kembar, Jeno." Gemas, Jaemin menarik pipi Jeno. "Masa begitu saja tidak mengerti." Dumalnya kemudian.

"O'oh ...." Jeno meringis dengan panggilan yang Jaemin sematkan untuk si kembar. "Mereka baik kok. Pipinya gembul seperti bakpao." Raut wajah Jeno langsung cerah seketika membayangkan wajah menggemaskan bayi kembar mereka.

"Yang lain mana?" Jaemin membelokkan topik. Tidak kuat dia melihat wajah Jeno yang kelewat senang.

"Mama sama baba ada di kantin. Teman-teman kamu sudah datang tadi pagi, sekarang mereka kerja. Kalau kakakmu pulang dulu ke rumah." Beritahu Jeno tentang urusan anggota keluarga mereka. "Nanti sore si kembar jika sudah memungkinkan sudah bisa dibawa keluar dari inkubator. Kamu lihat foto mereka saja, aku sudah memfotonya untukmu."

"Sini, lihat." Jaemin mengambil ponsel Jeno, dengan si pemilik ponsel ikutan mendekat.

"Lucu, kan. Mereka seperti bakpao." Tutur Jeno.

"Iya sih." Jaemin mengakui itu. "Tapi tidak terjadi masalahkan?"

Jeno menggeleng, "mereka kuat, jadi mereka baik-baik saja."

"Baguslah."

Seperkian detik kegiatan menganggumi kedua orang tua baru ini terganggu karena ada yang masuk ke dalam ruang rawat Jaemin dengan mulut yang tidak berhenti mengoceh.

"Wajah keponakanku sekilas mirip Yena tidak sih? Heran, kenapa tidak mirip aku saja." Renjun berbicara kepada Eric dan Guanlin yang berjalan dibelakangnya.

"Bisa saja itu efek Jaemin benci dengan Yena. Kalau mirip kamu berarti Jaemin membencimu." Eric menimpali rasa iri Renjun.

"Tahu dari mana kamu?" Renjun menolak percaya.

"Hanya perkataan orang-orang sih. Tapi kenyataannya benar, kan."

"Jaemin." Guanlin melenggang pergi melihat Jaemin bingung atas keributan yang tercipta, meninggalkan keributan istrinya dan Eric. "Sudah dari tadi kamu sadar?"

"Belum terlalu lama." Jawabnya.

"Makan dulu sini, Jen, dari kemarin malam kamu belum makan makanan berat." Panggil Renjun membuat Jeno kontan beralih dari sisi Jaemin.

"Tumben." Jaemin memandang aneh atas perhatian kakaknya.

"Ucapan terima kasih katanya." Timbal Guanlin yang kini duduk di tempat Jeno tadi.

"Konsistensi, ya."

"Memang begitu sifatnya."

"Baguslah. Tidak lucu kalau rebutan si kembar nanti."

--^

Note

2 chapter lagi kayaknya. Atau cuma 1 ku gabung aja.

Kalian udah mulai rame lagi, ya 😂

Untuk sementara aku lagi fokus sama akun sebelah, jadi bakal mampir ke sini kalau di sana bersangkutan sama yang di sini. Mungkin kalau ada cerita yang bisa aku buat ver nomin, markhyuck atau guanren, nanti tak buat di akun ini. Papai~

Peran Antagonis (nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang