Chapter (22) Peringatan

1.2K 134 14
                                    

"Yena." Ji-Hyun memperhatikan Yena yang sibuk menata barang yang memang ingin dia ambil.

"Ya?" Yena menoleh sebentar melihat temannya itu sebelum kembali lagi dengan kegiatannya.

Ji-Hyun yang bersandar di depan pintu kamar Yena mendekati wanita itu. Ia menatap punggung temannya. Sebenarnya mereka sudah seperti saudari saking dekatnya, tapi kenapa Yena begitu tega padanya.

"Kau memang ingin mengambilnya dariku, atau kau mau menjadikan aku kambing hitam?" Tanya Ji-Hyun.

Yena menatap Ji-Hyun bingung. "Maksudnya apa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Jawab saja."

"Tentang apa dulu?"

"Memangnya tentang apa lagi? Jangan pura-pura tidak tahu, lah." Ji-Hyun mendengus.

"Terserah, aku tidak akan menjawab pertanyaan yang tidak aku mengerti."

"Sungguh, jangan membuat aku marah, Yena!" Pekik Ji-Hyun tertahan. Tidak lucu kalau sampai ada yang mendengar.

"Yang seharusnya marah itu aku, kau sudah menuduh yang tidak-tidak padaku!" Balas Yena kesal. Dia jelas tidak terima dituduh begitu, apa-apaan Ji-Hyun ini.

"Lalu aku harus menyalahkan siapa lagi? Kau yang memberikan racikan minuman itu, yang kau bilang sudah dicampur obat perangsang, tapi nyatanya itu adalah racun. Sekarang apa yang akan kau katakan untuk menjadi pembelaan?"

"Dengar, tidak ada untungnya aku meracuni Jeno, jelas aku tidak ada masalah pribadi dengan Jeno, kalau itu Eric bisa jadi. Kenapa juga aku harus susah-susah melakukannya. Aku mengatakan yang sebenarnya, untuk itu racun atau bukan, jelas kau pertanyaan sendiri apa yang kau lewatkan."

"Tidak mungkin kan ada orang lain yang tahu waktu perjanjian kami bertemu, kira-kira siapa?" Ji-Hyun tampak pusing, bukan apa, kalau mereka sampai bertemu, mungkin dia sudah dituduh sengaja membunuh Jeno. Dia pikir setelah mengatakan ini kepada Yena, dia akan melihat wanita itu tampak gugup seperti menutup-nutupi perbuatannya, tapi dia tampak tenang tidak mencurigakan sama sekali.

"Mungkin saja Jaemin." Ucap Yena tiba-tiba.

Ji-Hyun menyerengit bingung, yang benar saja. "Mana mungkin itu kelakuan Jaemin. Lihat, mereka seperti dipenuhi cinta begitu." Cibir Ji-Hyun.

"Kau sadar tidak sih kalau kau sudah menantang dia terang-terangan? Orang seperti Jaemin itu bisa melakukan apa saja, sulit untuk menebaknya."

--^

"Nona, ada undangan dari keluarga Lee untuk Nona."

Ji-Hyun yang hari ini berada di kediaman Han tampak terkejut mendapatkan undangan secara pribadi atas namanya. Biasanya jika ada pertemuan penting mengatasnamakan keluarga, maka ada perwakilan yang menghadiri apa bila ada urusan mendesak. Ini kenapa nama dia yang tertera? Apa Yena sakit hati atas tuduhannya kemarin sehingga dia mengadukan perkara ini kepada keluarga Lee? Tapi jika benar, Yena sama saja dengan bunuh diri.

Ji-Hyun memijat pelipisnya pusing. Kenapa hidupnya akhir-akhir ini tidak tenang. Lepas sebentar dari Young Hoon, sekarang ada lagi yang lain. "Apa aku tanya Jeno saja, ya?" Ji-Hyun rasanya hampir gila saja.

Mengingat pertemuan sekitar 2 jam lagi, Ji-Hyun lebih baik siap-siap terlebih dahulu dari pada dia memikirkan hal aneh-aneh. Siapa tahu yang mengundang bibi Taeri, kan. Mereka sudah lama tidak bertemu semenjak tidak tinggal di kediaman utama Lee. Siapa juga yang betah tinggal satu atap dengan Jaemin. Pria itu sudah seperti ular yang berbisa.

Perjalanan ke tempat pertemuan terasa sangat cepat, Ji-Hyun bahkan belum bisa menenangkan dirinya. Melihat dari lokasi pertemuan saja sudah jelas bahwa ini adalah pertemuan private. Sangat jarang pertemuan seperti ini dilakukan, lalu kenapa dia diundang?

Tanpa sadar Ji-Hyun mengirimkan pesan kepada Jeno yang sudah dari tadi dia ketik tetapi tidak punya keberanian mengatakannya. Dia dengan Jeno memang terlihat dekat, tapi pria itu terkadang tidak sejalan dengannya, itulah kenapa mereka sering sekali cekcok.

Han Ji-Hyun
Hari ini aku ada pertemuan di gedung The Peaceful Palace. Kamu tahu sendiri tempat ini tidak sesantai namanya.

Lee Jeno
Siapa yang mengundang mu ke sana?!

--^

Ruangan besar itu tampak terasa sesak akibat aura saling menguar dari kedua orang berbeda jenis kelamin dan kedudukan itu. Mereka jelas terlihat seperti musuh bebuyutan yang siap saling menghancurkan. Dari beberapa menit berlalu mereka duduk terdiam, tanpa ada satu patah katapun keluar memecahkan keheningan, hanya mata tajam saling memandang yang terjadi.

Salah satunya menyilangkan kakinya, pun tangan bersedekah dada dengan gaya congkak terlihat khas menggambarkan dirinya dimata-mata orang-orang. Kehadirannya membuat banyak peraturan berubah total, entah apa yang melingkupi orang ini hingga terlihat seperti orang yang selalu dalam kondisi memihak padanya.

"Kalau Anda masih terus diam saja mending saya pergi. Kegiatan saya bukan hanya untuk meladeni Anda." Ucapnya dengan nada jengah.

"Oh, kalau meladeni suami saya Anda pasti betah berada di sini, bukan?"

"Sudahlah, Anda membuang-buang waktu saya." Ia berdiri dari duduknya, kemudian melangkah menjauh dari orang tersebut.

"Tunggu."

Ucapnya tersebut menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap orang itu berjalan mendekatinya, dengan tangan yang sudah berbalutkan sarung tangan?

Plak!

Tamparan kencang secara tiba-tiba membuatnya hampir terjatuh.

"Kau!"

Plak!

Plak!

"BERHENTI!" Teriaknya menggema di ruangan besar itu.

"Kenapa? Bahkan tamparan itu tidak seberapa atas kelancangan Anda, Nona Ji-Hyun. Harusnya Anda bersyukur saya hanya menampar Anda, bahkan saya tadinya berniat mencambuk Anda hingga tubuh yang Anda cintai ini akan pulih dalam waktu yang lama."

"Bisa-bisanya Jeno menikah dengan seseorang berdarah dingin seperti Anda, kasihan sekali hidupnya." Desis Ji-Hyun.

"Oh, inilah alasan Jeno menikah saya ngomong-ngomong. Bukan seperti Anda yang bodoh dan bersumbu pendek."

"Jaga ucapan Anda ya--"

"Obat perangsang," ia memotong ucap Ji-Hyun, "jangan pernah Anda berpikir untuk melakukannya lagi. Karena saya tidak segan memberikan pelajaran kepada siapapun yang terlibat."

Ji-Hyun terkejut kenapa Jaemin tahu soal obat itu? Apa benar Yena mengatakannya?

"Jangan bermain-main di sarang singa, keledai. Karena keledai seperti Anda tidak akan bisa memahami." Jaemin melirik jam yang melingkar di tangannya, "satu lagi, Jeno tidak bertindak lebih karena dia tidak ingin Anda berakhir ditangan saya. Ah~ indahnya perlakuan orang-orang saling jatuh cinta ini, ck!"

Jaemin menatap Ji-Hyun yang mematung di tempat. Mungkin saja otaknya berhenti berfungsi, pikir Jaemin. Ia berlalu meninggalkan keledai bak kehilangan nyawa. Sungguh kehidupan percintaan begitu menyulitkan.

--^

Jadi sebenarnya Jeno dan Jaemin ini saling jatuh tidak sih 🤔

Kalau ada typo silahkan komen, karena aku mengetik tanpa cek lagi.




Peran Antagonis (nomin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang