6. Insiden Basket

3.4K 282 67
                                    

Tidak ada yang bisa menandingi pesona si kembar jika seragam basket sudah melekat di tubuh keduanya. Suara dari pengagum wanita pun terdengar bersahutan. Memekik nama Daffa dan Daffi secara bergantian. Padahal, mereka belum melakukan apa-apa.

Siapa, sih, yang enggak tantrum melihat daya tarik putera-putera Argadana itu? Terlepas dari latar belakang materi dan fisik mereka yang nyaris sempurna, Daffa dan Daffi memang ahli dalam permainan bola yang satu ini. Semenjak si kembar dilantik sebagai pemain inti, Garuda selalu berhasil membawa pulang piala kemenangan.

Daffi, si kapten yang memiliki banyak sekali pengagum wanita. Meski di rumah ia suka gelendotan sama mami, jangan remehkan kemampuannya jika sudah berpijak area pertandingan. Lincah dan gesit, sangat ahli mencuri bola dari tangan lawan. Menyandang gelar terbaik di setiap pertandingan.

Sedang Daffa, posisinya juga tak kalah penting dari sang kembaran. Meski Daffi lebih unggul, tapi Daffa juga tak kalah menyeramkan. Belum ada yang bisa menandingi skill nya dalam mencegah lawan mencetak gol. Jika sudah collab dengan Daffi, lapangan serasa milik berdua.

"Rame ya, Fa? Padahal cuma latihan biasa. Keren-keren," puji Haris yang cukup terkesima dengan riuh keadaan sekitar. Tribun yang tak begitu luas itu terlihat ramai oleh kaum hawa yang masih mengenakan seragam sekolah. Jauh berbeda dengan keadaan sekolahnya dulu saat melakukan latihan. Mentok yang lihat cuma teman-teman pemain saja.

Daffa menyenggol lengan Daffi yang sedang melakukan peregangan. "Penggemar Daffi semua tuh, Ris."

"Bacot, Daff."

"Ayang Daffi, semangat ...."

"Bacot bacot bacot."

Daffa tertawa terbahak. Mau sekuat apapun bocah itu membangun image cool di luar, bagi Daffa, Daffi tetap anak manja keluarga yang suka marah-marah. Meski lekuk wajahnya tipe cowok begajulan, percayalah, aslinya tidak begitu. Daffi itu anaknya kalem pol. Sepertinya mulai sekarang Daffa harus merekam anak itu ketika sedang manja sama mami. Habis itu kirim ke Instagram sekolah supaya semua orang tau kelakuan asli anak itu.

"Ngapa lo senyum-senyum gitu?"

Daffa kaget saat wajah Daffi tiba-tiba berada tepat di depan wajahnya. "Jauhan, Dek. Bau babi."

"Apa lo bilang?"

"Dek, kenapa?"

Satu fakta lagi yang harus kalian tahu. Daffi itu sangat tidak suka dipanggil adek oleh siapapun, termasuk orang rumah. Baginya, ia sudah dewasa. Lagi pula jarak dengan Daffa cuma sepuluh menit. Kalau dia dipanggil adek, harusnya Daffa juga demikian.

Haris tak pernah tak cemburu setiap melihat interaksi Daffa dan Daffi. Kasih sayang yang keduanya salurkan sama-sama besar. Meski kerap bertengkar, Haris bahkan tak pernah melihat keseriusan di wajah keduanya. Haris sempat berpikir, mungkin enak jadi Daffi yang disayang sehebat itu oleh keluarganya.

Peluit yang berasal dari mulut pelatih pun berbunyi, membuat seluruh pemain merapatkan diri di tengah lapangan. Seperti biasa, sebelum memulai kegiatan pelatih terlebih dahulu memberi wejangan. Setelahnya mempersilakan Haris untuk memperkenalkan diri. Haris yang memang sudah berkecimpung di dunia basket pun tak terlihat canggung sama sekali.

Dari penglihatan Daffi, Haris cukup mudah berbaur dengan orang-orang baru. Terlihat dari interaksinya dengan pemain-pemain lain. Namun, mengapa di rumah dia banyak diam? Sudahlah, Daffi coba acuh. Positif thinking saja, mungkin anak itu memang aneh dari sananya.

Pak Bandi -sang pelatih mulai membentuk tim. Membagi beberapa pemain untuk diadu guna melihat kemajuan skill mereka. Daffa dan Haris kedapatan satu tim, yang tentu saja Daffi sebagai lawannya. Mereka sudah siap-siap di posisi. Daffa menyeringai ke arah sang kembaran.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang