7. Collapse

4.8K 312 50
                                    

Haris sadar dia egois. Melakukan hal gila hanya demi sebuah perhatian. Namun, percayalah, ini menyenangkan. Afeksi yang tercipta bahkan jauh lebih indah dari yang Haris bayangkan. Seluruh perhatian keluarga benar-benar tertuju padanya.

Dimulai dari Gita yang bolak-balik mengecek ke kamar. Tak membiarkan Haris merasa tidak nyaman sedikitpun. Wanita itu juga menyiapkan makanan, mengantar sekaligus menyuapi dengan telaten. Berulang kali meminta maaf pada Haris atas nama anak bungsunya.

Elang pun demikian. Haris dengar laki-laki itu membatalkan kegiatannya di luar demi menemaninya. Kata maaf juga sering keluar dari mulut Elang. Berkata pada Haris untuk maklum, sebab Daffi memang tumbuh penuh limpahan kasih sayang. Mungkin dia hanya cemburu.

Daffa pula seperti orang linglung. Sesekali ia menjenguk Haris, lalu kembali ke bilik kamarnya. Rasa bersalah sekaligus khawatir mendominasi hati. Entah apa yang terjadi pada Daffi. Begitu sampai tadi, anak itu langsung bebersih dah tidur. Sampai sekarang. Padahal waktu maghrib hampir tiba.

Pelan-pelan Daffa coba mendekat. Meneliti wajah tenang Daffi dari sudut kanan kasur. Wajah yang hampir delapan puluh persen mirip dengannya itu tampak sedikit pucat. Ada kerutan di dahinya, seperti menahan sakit. Rasa bersalah langsung menghantui pikiran. Daffa tak tahu kenapa ia bisa selepas itu sore tadi.

Daffa memang suka kewalahan dalam mengatur emosi di waktu tertentu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daffa memang suka kewalahan dalam mengatur emosi di waktu tertentu. Apalagi menyangkut kesehatan, Daffa sangat sensitif. Sebenarnya bukan hanya Daffi, ia juga belum sepenuhnya menerima Haris. Hanya mencoba akrab seperti perintah mami dan papi. Kadang, Daffa tidak tega dengan sepupunya itu. Lagipula, sejauh ini, Daffa belum menemukan sosok 'jahat' dalam diri Haris seperti yang orang tuanya katakan.

"Daff ... bangun."

Karena tak direspon, Daffa inisiatif menyentuh pipi anak itu. Ia sedikit terkejut saat sensasi hangat menyapa telapak. "Bangun, Daff. Nggak baik tidur jam segini," ucapnya lembut. Demi Tuhan, Daffa menyesal.

Kelopak itu bergerak, lalu terbuka. Menatap wajah Daffa dengan sayu. Tiba-tiba insiden sore tadi menyapa ingatan. Daffi buru-buru balik badan memunggungi Daffa.

"Bangun, Daff. Sholat, makan."

"Duluan," jawab Daffi pelan.

"Jangan gitu. Ntar asam lambung lo naik."

Ingin sekali rasanya Daffi berkata di depan wajah Daffa kalau perutnya memang sudah sakit sejak di mobil. Namun, rasa kesal masih mendominasi. Daffi tidak suka dengan sikap Daffa yang terkesan menghakimi.

"Daff ...," panggil Daffa lagi. Kali ini ia sudah duduk di belakang Daffi, meraba wajah anak itu dengan hati-hati. "Lo demam ini."

Dengan cepat Daffi mengelak. Remaja mancung itu beringsut duduk. Ia diam sejenak saat sakit di perut kembali terasa. Namun, tak lama, sebab ingin menghindar dari Daffa dengan cara bertolak menuju kamar mandi.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang