Intip CCTV rumah om Argadana yang minim privasi dulu, yuk.
"Susah, ya, Daff?"
Masih fokus pada kertasnya, Daffa menggeleng. "Enggak, b aja."
Hari ini sepertinya adalah hari terakhir Daffa bedrest akibat insiden cidera kaki tempo hari. Daffi juga sudah mulai membaik. Meski ketika tidur masih suka jerit-jerit nggak jelas. Akan tetapi, setidaknya anak itu sudah tidak sekacau beberapa hari belakangan.
Tak terasa, banyak tugas dan pelajaran yang sudah Daffi lewatkan selama sakit. Oleh karena itu, Daffa memutuskan kalau pagi kali ini harus dimulai dengan belajar bersama. Meski ujung-ujungnya hanya Daffa yang belajar, sebab Daffi kerjanya cuma coret-coret kertas buku pemberian Daffa tempo hari. Belum ada rangkaian kalimat tercurah di sana. Kebanyakan gambar tidak jelas.
Dari jarak cukup dekat, Daffi meneliti wajah tegas Daffa dari arah samping. Tiba-tiba banyak pertanyaan muncul di kepala. Menggiring mulutnya untuk bersuara.
"Daff."
Daffa hanya menanggapi dengan sahutan kecil. Belum mengalihkan fokus dari tugas-tugas di tangan. Omong-omong, mereka berdua sedang duduk di kasur sekarang. Dikelilingi buku yang berserakan.
"Kalau seandainya gue mati duluan, lo bakal kangen nggak?"
Secepat kilat Daffa menoleh. Melayangkan tatapan kesal ke arah sang kembaran. "Pertanyaan gila," ketusnya kemudian.
"Kalau gue ya pasti kangen lah. Kalau lo mati, gue pasti mati. Tapi kalau gue yang mati, lo nggak boleh mati."
"Lah mana bisa, curang, bejir."
Sebenarnya Daffa sudah berkaca-kaca. Namun, ia coba tahan dengan cara mendongak. Daffa benci membahas pasal perpisahan. Sebab selama tujuh belas tahun ia hidup, hal yang paling Daffa takuti adalah kehilangan.
Daffi tersenyum kecil. Karena perutnya sedikit nyeri, anak itu inisiatif berbaring. Meletakkan kepalanya di sisi paha kanan Daffa. Menghidu aroma mint yang menguar dari tubuh anak itu.
"Daff, lo nyesel nggak terlahir jadi kembaran gue?"
Daffa sedikit menyentak pahanya sampai kepala Daffi terpantul kecil. "Apa sih ah, omongan lo. Kaya taik."
"Cengeng lo. Padahal cuma nanya gitu doang," ejek Daffi diiringi kekehan kecil.
Daffa itu memang begitu. Sensitif, mudah tersentuh dan sedikit cengeng. Persis ibunya. Mungkin jika kalian bertemu Daffa di luar, ia tampak seperti remaja pada umumnya. Namun, jika kalian menelusuri Daffa lebih dalam, dia akan berubah jauh dari apa yang terlihat.
Daffa bahkan pernah menangisi kucing liar yang tertabrak motor di jalan. Daffa juga pernah meminta mami papi untuk mengasuh anak jalanan yang mengadu tidak makan. Daffa itu manusia terlembut yang pernah Daffi temui. Hanya tertutup oleh image 'bad' yang berusaha ia bangun. Yang menurut Daffi pribadi, tidak berpengaruh sama sekali.
Bagi Daffi, Daffa tetap bocah cengeng yang selalu minta dipeluk kalau sedih.
"Lo harus kuatin mental, Daff. Dunia itu jahat."
"Ah, tauk ah. Sana lo, gue mau keluar."
"Alah lah, malah pundung." Daffi memutar badan untuk kemudian memeluk perut Daffa. Entah kenapa, selepas kejadian gila itu, ia merasa takut bersentuhan dengan siapapun. Terkecuali mami dan Daffa. "Makasih, ya, Daff."
KAMU SEDANG MEMBACA
Niskala
Novela Juvenil#Sicklit #TeenFiction #AJ #JJ ⚠️Jangan dibaca. Cerita ini banyak lukanya.⚠️ Kata Daffa, Daffi itu Niskala. Kokoh, kuat dan perkasa. Meski nyatanya, Daffi hanya manusia biasa yang rentan terluka. Most Impressive Ranking: 🏅1 in •Sicklit• [31/12/2023]...