Gita adalah salah satu yang paling panik ketika mendapat kabar Daffi pingsan. Tanpa memperdulikan mesin mobil yang masih menyala, wanita itu langsung membuka pintu mobil. Berjalan tergopoh memasuki rumah. Meninggalkan Argadana dan Daffa yang sebenarnya juga sedang dirundung cemas.
"Sebentar, Kak. Jangan gerak dulu," tegur Argadana saat melihat Daffa berniat membuka pintu mobil dari kaca dashboard. Anak itu terlihat tak kalah panik.
"Cepetan, Pi."
"Iya, ini loh, buka seatbelt bentar."
Setelah meniti langkah demi langkah, akhirnya sepasang ayah dan anak itu berhasil sampai di kamar si kembar yang berada di lantai dua. Hal pertama yang Daffa lihat adalah mami yang sedang memeluk Daffi dengan posisi setengah berbaring. Mata anak itu juga sudah terbuka, membuat Daffa diam-diam mulai bernapas lega.
"Daff ...."
Ada bunyi seperti benda jatuh saat Daffa tiba-tiba menubruk tubuh kurus Daffi dari arah belakang. Argadana sempat panik dan ingin memarahi, sebab anak itu belum duduk dengan posisi yang benar. Namun, saat melihat suasana haru yang tercipta, suaranya seolah tertahan.
"Lo nggak papa kan? Maaf gue lama tadi," ujar Daffa lirih yang hampir mirip sebuah bisikan. Sambil mengeratkan pelukan, menghidu aroma telon yang menguar dari badan sang kembaran.
Daffi mulai melepas tautan tangannya dari tubuh mami, kemudian berbalik. Kini kedua anak kembar itu sudah berpelukan dengan sempurna. Jika kemarin Daffi yang menangis di ceruk leher Daffa, kini suasananya berbalik.
Merasa dicemaskan dengan begitu hebat, Daffi pun mengusap-usap punggung Daffa guna menenangkan. "G-gue nggak papa, Daff ...."
"Jangan suka bikin gue khawatir. Gue takut," ucap Daffa bergetar.
"Nggak ada apa-apa, udah nggak usah nangis."
Bagaimana bisa Daffa tidak panik? Suara Haris yang bergetar di telepon beberapa menit lalu berhasil membuat jantungnya berpacu tak menentu. Terlebih kondisi Daffi juga memang sedang kurang baik saat mereka pergi. Daffa takut asam lambung sewaktu-waktu merenggut Daffi darinya.
Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi berita kasus kematian akibat aslam yang menyebar di sekolah membuat Daffa kerap dirundung rasa cemas. Jangan sampai, jangan sampai Daffa kehilangan dunianya.
"Kaki lo gimana?"
Daffa belum menjawab, masih berusaha menenangkan diri dalam hangatnya pelukan Daffi. Daffa berjanji, setelah ini, ia tidak akan mau meninggalkan Daffi jika kondisi anak itu tidak dalam keadaan baik. Apapun alasannya.
"Posisinya yang bener dulu, Kak. Ini kakinya nggak lurus."
Dengan hati-hati Argadana mengangkat sebelah kaki Daffa yang terbalut perban. Meletakkan ke posisi yang lebih baik, kemudian menyelimuti keduanya. Pria berkepala empat itu juga sempat mengusap pucuk kepala si bungsu untuk memastikan suhu tubuhnya.
"Gimana tadi ceritanya, Ris?" tanya Argadana ke arah sang keponakan yang sepertinya masih shock. Remaja itu tengah duduk di sofa mini dekat jendela balkon. Sudah ada Elang juga di sana.
"Iya, Ris. Jantung Tante sampe mau copot denger suara kamu," sambung Gita.
"Aku juga, Mi. Sampe nggak sadar tas ketinggalan di arena." Elang ikut menimpali. Pria gagah itu bahkan masih banjir keringat akibat berlari dari parkiran sampai ke lantai atas. Elang dirundung rasa bersalah pasal percakapan terakhirnya dengan Daffi di WhatsApp.
Sebelum menjawab, Haris sempat melirik Daffi yang ternyata sedang menatap dirinya. Remaja pucat itu seperti memberi kode melalui gerakan mata, seolah melarangnya untuk memberitahu atas apa yang sudah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Niskala
Teen Fiction#Sicklit #TeenFiction #AJ #JJ ⚠️Jangan dibaca. Cerita ini banyak lukanya.⚠️ Kata Daffa, Daffi itu Niskala. Kokoh, kuat dan perkasa. Meski nyatanya, Daffi hanya manusia biasa yang rentan terluka. Most Impressive Ranking: 🏅1 in •Sicklit• [31/12/2023]...