"Udah, Daff. Nggak ada yang keluar. Jangan dipaksa lagi."
Daffa setia memijat tengkuk Daffi di depan wastafel. Anak itu sudah muntah-muntah sejak sepuluh menit yang lalu. Membuat Daffa hampir mati dilanda cemas. Pasalnya, Argadana dan Gita sedang menghadiri pertemuan klien bersama Haris di kantor. Sementara Elang pergi entah kemana. Kontaknya tidak bisa dihubungi.
"Udah?"
Cairan encer kekuningan larut bersama air saat Daffi menghidupkan keran. Tangannya agak gemetar. Membuat Daffa ikut andil dalam kegiatan. Dengan telaten anak itu mengusap sisa muntahan di sekitar bibir sang kembaran.
Satu dari sekian banyak hal yang tidak Daffa sukai adalah, melihat Daffi sakit.
"Ayo keluar dulu, kuat nggak?"
"Gue bisa sendiri."
Daffa hanya bisa menghela napas kecil saat Daffi menepisnya. Rupa-rupanya anak itu masih menyimpan kesal pasal konflik mereka tadi malam. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa dilakukan selain memperhatikan anak itu berusaha dengan sisa tenaganya.
Karena ... Daffi itu sedikit keras kepala.
Dan benar saja, belum juga sampai pintu, tubuh kurus Daffi limbung ke kanan. Daffa yang sudah jaga-jaga dengan sigap menopang.
"Ngeyel. Kalau lemes bilang lemes, Daff."
Daffi akhirnya diam saat Daffa membantunya berjalan menuju kasur. Bukan bermaksud kekanakan, Daffi hanya ingin menunjukkan pada Daffa bahwa ia benar-benar marah. Daffi tidak ingin Daffa suka menganggap sepele perasaannya.
Setelah memastikan Daffi duduk nyaman, Daffa memilih tetap berada di sana. Menatap mata sayu anak itu lekat-lekat. Tak ada ekspresi berarti yang Daffa tangkap selain rona pucat.
"Minum, ya?"
Setelah mendapat satu anggukan kecil, Daffa pun menyambar gelas di atas nakas. Membantu Daffi minum dengan hati-hati. Sesekali mengelap keringat yang membasahi dahi anak itu.
"Sekarang apa yang lo rasain?"
"Nggak ada."
"Bohong," tukas Daffa cepat. "Sesek kan?" Fokusnya tertuju pada ritme dada Daffi yang tak beraturan.
"E-enggak."
"Napas yang bener, Daff. Jangan bikin gue panik."
Daffa beringsut membuka laci nakas bagian bawah. Mengambil sebuah tabung oksigen protable yang sengaja Argadana beli untuk jaga-jaga. Sebenarnya Daffa belum terlalu tahu cara pasangnya. Sebab yang biasa menangani kambuh Daffi selalu mami.
Dengan sedikit gemetar, Daffa nekat otak-atik semampunya. Lalu saat dirasa udara mulai keluar dari lubang canul, ia berdiri. Menautkannya di hidung mancung Daffi.
Daffi terbatuk, kemudian terpejam sambil bersandar. Menikmati sensasi segar yang mulai meredam rasa terbakar di dada. Melihat itu, Daffa mendesah lega. Ia mengambil tangan Daffi yang terkulai untuk digenggam erat.
"Udah enakan, belom?"
"Lumayan," jawab Daffi pelan. Masih terpejam. "Thanks."
Ada setetes air mata jatuh membasahi pipi Daffa. Namun, buru-buru dihapus. Anak itu memang sensitif, seperti ibunya. Bagi Daffa, Daffi adalah dunianya. Mau sehebat apapun mereka bertengkar, rasa sayang tetaplah lebih dominan.
"Jangan sakit, Daff ...," ucap Daffa lirih.
Mata Daffi terbuka segaris. "Gue nggak papa."
Daffa belum percaya. Daffi itu ahli dalam menyembunyikan rasa sakit. Dulu saja saat Daffi jatuh di kolam, anak itu berkata dia baik-baik saja. Namun, lima menit kemudian dia pingsan. Membuat semua orang nyaris mati ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Niskala
Teen Fiction#Sicklit #TeenFiction #AJ #JJ ⚠️Jangan dibaca. Cerita ini banyak lukanya.⚠️ Kata Daffa, Daffi itu Niskala. Kokoh, kuat dan perkasa. Meski nyatanya, Daffi hanya manusia biasa yang rentan terluka. Most Impressive Ranking: 🏅1 in •Sicklit• [31/12/2023]...