20. Your Pain is My Pain (Twin Moment)

4.5K 413 244
                                    

"Mau kamu apa, sih, Daffi!" Argadana sudah maju, menghampiri si bungsu yang masih membeku di ambang pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau kamu apa, sih, Daffi!" Argadana sudah maju, menghampiri si bungsu yang masih membeku di ambang pintu. Deru napasnya semakin menggebu-gebu. "Jam berapa sekarang? Kamu dari mana? Kenapa nggak angkat telpon? Papi bilang apa tadi sebelum pergi?"

Sebagai satu-satunya perempuan yang ada di sana, Gita langsung ambil sikap. Bermaksud menenangkan sang suami supaya tidak ada lagi kekerasan yang tercipta. Sebab apa saja bisa terjadi jika semua dalam keadaan emosi.

"Mas, pelan-pelan," bisik wanita itu kemudian. Tangannya terulur mengusap-usap bahu Argadana.

Daffa masih diam, memerhatikan dari kejauhan bagaimana cara papi menghakimi sang kembaran. Elang juga tampak turut serta mendekati mereka, ikut menyudutkan Daffi yang sedari tadi belum juga membuka suara. Entah kenapa, tiba-tiba ada sejumput kalut memenuhi rongga dada Daffa.

"Fi, di luar musuh lagi nyari celah buat jatuhin papi. Lo bisa ngerti nggak, sih?"

"Mas, mundur," titah Gita. Tak mau suasana semakin tak terkendali.

"Ini anak dari kemarin nggak ngerti-ngerti dikasih tau, Mi! Masalah semalam aja belum kelar, udah bikin masalah baru," ujar Elang semakin menggebu-gebu. Entah kenapa rasanya kesal melihat perubahan Daffi yang semakin susah diatur.

"Duduk sana, Mas. Biar mami sama papi aja yang bicara."

Perintah telak Argadana akhirnya memaksa Elang kembali ke tempat. Meski tatapannya masih menikam obsidian Daffi dengan tajam. Sungguh, segila apapun Elang di luar sana, ia tak pernah ingin kedua adiknya melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan.

"Kita duduk aja, ya, Pi?"

"Nggak perlu, Mi. Udah malem, biar cepet beres, biar istirahat. Semua pada capek."

Tanpa sadar, kedua tangan Daffi mengepal erat. Andai Argadana tahu, selelah apa fisik dan batinnya saat ini. Daffi bahkan sangat kesulitan hanya untuk sekadar berbicara seperti biasa. Sekujur tubuhnya sakit, terlebih ruang kecil di sekitar dadanya. Namun, kalau pun ia berbicara yang sesungguhnya, apa masih ada dari mereka yang percaya?

Toh Daffi memang tak pernah bisa dibanggakan di keluarga ini, kan?

"Sekarang bilang, kamu dari mana? Mabuk lagi?"

Lihatlah, bahkan Daffi belum berkata apa-apa. Namun, pria itu sudah menghakiminya dengan sesuatu yang jelas tidak Daffi lakukan. Tak bisakah mereka menunggunya berbicara terlebih dahulu?

Meski nyatanya, Daffi belum memiliki banyak kekuatan untuk mengungkap kebenaran menjijikkan ini.

"Daffi ...."

Dengan gerakan pelan, Gita coba menyentuh bahu anak itu. Namun, tak disangka, Daffi malah berjengit seperti orang ketakutan. Ia menatap Gita dengan mata berkaca-kaca. Gelengan konstan tercipta, membuat rambut-rambut lepeknya terombang-ambing tak tentu arah. Daffi mulai mundur selangkah demi langkah, menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang