17. My Daffa!

3.4K 381 199
                                    

"Pi ... nggak semua masalah selesai dengan kekerasan."

"Kamu tau kan secapek apa aku kasih edukasi ke anak-anak soal bahaya alkohol?" Argadana mencengkeram pinggiran kasur dengan wajah merah. Dada bidangnya masih naik turun tak beraturan. Ada amarah hebat yang pria itu coba redam.

"Mami ngerti ...." Sprei dongker tanpa motif itu bergerak saat Gita memangkas jarak. Pelan-pelan ia mengusap bahu sang suami. Berniat memadamkan api yang sedang membara di kepala pria itu. "Maafin Daffi, ya, Pi?"

Argadana menunduk. Ia memijit pelipis hingga tanpa sadar ada basah yang merembes di sela jemari. Kejadian beberapa tahun silam kembali hadir memenuhi ingatan. Menimbulkan trauma tak terbantahkan.

"Papi takut, Mi. Takut Daffi bernasib sama dengan Arkana ...."

Bohong pasal martabat, sebab bagi Argadana keluarga adalah harga mati yang tidak bisa disepadankan dengan apapun. Argadana tak peduli bahkan jika orang-orang mengetahui kekurangan mereka. Namun, ia tak pernah menoleransi perihal kehilangan.

Delapan tahun silam, tepat saat keluarga mereka baru saja melakukan perayaan ulang tahun si kembar, sebuah kabar duka datang. Meruntuhkan sebagian dari dunia Argadana. Arkana Sandyakala, adik bungsu yang menjadi harapan besar keluarga mereka, tewas di jalan akibat pengaruh minuman keras.

Sejak kepergian sang adik, Argadana sangat membenci cairan memabukkan itu. Ia selalu berkata pada anak-anaknya untuk jangan bermain-main dengan alkohol. Atau apapun yang bisa merusak tubuh, akal dan pikiran.

Sejauh ini, Argadana berpikir ia berhasil. Sampai kejadian barusan membuatnya hilang kendali. Rasa kecewa seakan menguasai diri, hingga tanpa sadar melukai salah satu orang yang selalu ia jaga selama ini.

Gita yang melihat bahu sang suami bergetar langsung menarik pria itu masuk dalam dekapan. Gita tahu sebesar apa luka yang Argadana miliki. Arkana adalah satu-satunya adik laki-laki yang Argadana jaga sepenuh hati. Sampai kehilangannya mampu menorehkan luka yang tak pernah bisa diobati.

"Besok mami bakal bicara sama Daffi. Sepertinya mulai sekarang kita harus lebih tegas. Sampai dia benar-benar ngerti tanpa harus terus dimarahi."

***

"Jangan sentuh gue!"

Haris terpaksa menarik kembali tangannya yang hampir menyentuh pundak Daffi. Dia terkejut, begitupun dengan Daffa. Keduanya sama-sama merasa aneh dengan respon Daffi yang tidak biasa. Anak itu terlihat seperti orang ketakutan. Tangannya bergetar hebat dengan bola mata bergerak cemas.

"Daff ... Haris cuma mau bantu. Gue ga akan kuat gendong lo sendirian sampe atas." Sejujurnya itu hanya alibi agar Haris tidak sakit hati. Sebab mengangkat Daffi hanya perihal kecil baginya.

"G-gue bisa sendiri."

Daffa tidak tahu apa yang sedang Daffi pikirkan saat ini. Anak itu tampak teguh dengan pilihannya. Keras kepala, seperti biasa. Ia meraba sekitar, mencari pegangan sebagai tumpuan badan. Namun, sekuat apapun Daffi mencoba, ia tetap gagal.

"Daff ...." Beruntung sifat emosional Argadana tak menurun pada bocah itu. Daffa menghela napas pelan. Menatap Haris dengan tatapan sulit diartikan. "Lo duluan aja, Ris. Biar Daffi sama gue."

"Serius? Gue nggak papa kok nunggu Daffi tenang."

"Tapi Daffi yang kenapa-kenapa." Sekali lagi, Daffa mengeluarkan debas. Tidak, maksudnya bukan begitu. Namun, ada sesuatu dalam diri yang membuatnya harus berkata demikian. Mungkin mewakili isi hati Daffi? "Beneran, gue bisa urus Daffi sendiri."

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang