Dulu saat kecil, Haris pernah bertanya pada mama, mengapa tak kunjung memberinya adik? Tak lupa diiringi keluh layaknya anak kecil. Berceloteh pasal rasa sepi yang dirasakan sepanjang hari. Namun, bukannya menjawab, mama malah menyuruh anak itu diam dan menjauh agar tak memecah fokusnya yang sedang bekerja.
Tak putus asa, Haris pun melontarkan pertanyaan yang sama pada ayahnya. Haris ingat betul saat itu, saat dimana papa tiba-tiba membanting remote hanya karena pertanyaan kecil yang ia beri.
Seperti anak-anak pada umumnya, Haris tentu menangis ketakutan. Anak tetapi, bukannya dibujuk, anak kecil itu malah dipaksa diam dengan seruan melengking. Disusul suara marah-marah mama yang merasa terganggu dan berakhir dengan pertengkaran rumah tangga.
Sejak saat itu, perkembangan Haris mulai bermasalah. Ia tumbuh layaknya anak kekurangan kasih sayang pada umumnya. Banyak kenakalan yang ia perbuat semata-mata hanya untuk menarik perhatian. Namun, bukannya diperhatikan, Haris malah dimutasikan. Mereka berdalih sibuk, tak mampu mengurus, padahal mungkin memang tak pernah menginginkan keberadaannya.
Miris. Haris tak pernah tak menangis ketika mengingat kembali alur hidupnya selama ini. Keluarga mereka memang serba kecukupan, mengingat ibunya adalah seseorang yang ambisius, seperti kakaknya -Argadana. Rumahnya juga tak kalah mewah dengan rumah yang ia huni sekarang. Namun bedanya, ia tak pernah merasakan adanya kehangatan di sana.
"Ris? Lo ... nangis?"
Ada suara gesekan di sisi kanan kasur. Elang langsung melipat laptop, menyudahi kerumitan berbagai rumus codingan di dalamnya. Kalau mami tahu, wanita itu pasti akan marah. Mengetahui dia tidak menjaga Haris dengan baik seperti yang diperintahkan saat di rumah sakit tadi.
"E-enggak, Mas." Haris buru-buru mengusap wajah.
"Sorry, malam ini deadline jadi mas agak fokus sama tugas tadi." Kini Elang sudah benar-benar duduk santai di kasur, sama seperti posisi Haris. "Jadi, gimana? Ada yang sakit? Atau bikin lo nggak nyaman?"
Ini adalah malam kedua Elang berada di kamarnya. Semakin Haris mengenal Elang, semakin pula ia terpesona dengan wibawa laki-laki itu. Elang seolah memberi semua yang tidak pernah Haris dapatkan di rumah.
"Ris?"
"Eh?"
"Gimana? Ada sesuatu yang bikin lo nggak nyaman? Barangkali soal sekolah baru?"
Bukan tanpa alasan, beberapa waktu lalu Om Feri, dokter yang juga menangani Daffi berkata bahwa tidak ada masalah pada tubuh Haris. Semua dalam keadaan baik, bahkan luka di keningnya sekalipun. Hal itu sontak menciptakan tanda tanya besar di benak mereka, ada apa dengan Haris?
"Ris, mungkin mas ngerti apa yang lo rasain sekarang."
Haris kaget dengan kalimat yang baru saja Elang ucapkan. "Maksudnya, Mas?"
"Lagi mikirin sesuatu yang nggak penting, kan?"
"Enggak, nggak mikir apa-apa kok."
"Bohong, Daffi juga suka ngeles gitu kalau ditanyain. Eh tau-tau tumbang, kan jadi susah sendiri. Nggak baik, Ris, mendem masalah sendirian."
Damai dan menenangkan. Entah kenapa, Elang selalu berhasil membuat hati Haris menghangat. "Daffi pasti beruntung banget ya punya kakak kaya mas Elang."
Elang tertawa kecil. "Ya nggak gitu juga."
"Gue pengen punya kakak, Mas. Tapi mama sama papa malah lahirin gue duluan."
Elang tak tahu kemana arah pembicaraan mereka sekarang, tapi yang pasti, ia bisa melihat dengan jelas luka di mata anak itu. Mungkin sekarang Elang mulai mengerti isi kepala Haris. Pasti tak mudah menjadi anak hasil hubungan perjodohan. Seperti kata papinya, keluarga Haris berjalan tanpa adanya rasa cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Niskala
Teen Fiction#Sicklit #TeenFiction #AJ #JJ ⚠️Jangan dibaca. Cerita ini banyak lukanya.⚠️ Kata Daffa, Daffi itu Niskala. Kokoh, kuat dan perkasa. Meski nyatanya, Daffi hanya manusia biasa yang rentan terluka. Most Impressive Ranking: 🏅1 in •Sicklit• [31/12/2023]...