24. Collapse

6.5K 544 444
                                    

"Udah, Mas. Aku nggak mau nyakitin siapapun lagi. Kasian, anak itu nggak tau apa-apa ...."

"Terus? Yang mau nanggung aib ini siapa? Mas? Ini semua terjadi juga gara-gara kamu, Cantika." Pria tinggi itu sejenak memberi jeda untuk sekadar tarik napas. "Coba aja kamu nggak tertipu sama omongan laki-laki bajingan itu."

Gadis yang masih menangis sesenggukan di atas kasur itu tampak menggeleng kecil. "Elang nggak salah, Mas. Cantika yang salah ...," ujarnya lirih.

"Oh, jadi kamu ngewe sendiri sampe bisa bikin anak haram kaya gitu? Gila kamu."

Jika tidak mengingat perjuangannya untuk membesarkan gadis itu sangat penuh dengan perjuangan, mungkin Dewa sudah memilih pergi. Meninggalkan beragam masalah pelik yang tak kunjung menemukan solusi ini. Namun, rasa sayang membuatnya terpaksa tetap berada di sana. Menjadi garda terdepan, menghalalkan segala cara demi sebuah pertanggungjawaban.

Masih melekat erat diingatan pedih perjuangannya dulu untuk tetap bisa bertahan hidup. Bermodalkan telapak kaki tak beralas, Dewa kecil pernah menggendong sang adik yang sedang sakit karena kelaparan. Meminta bala bantuan pada sesiapa yang berhati baik. Luka seperti apa lagi, sih, yang belum dia rasakan? Namun, mengapa siksaan ini tak kunjung berkesudahan?

Beberapa minggu lalu, dunia Dewa terasa runtuh saat mendengar suara tangisan lirih dari kamar Cantika. Terlebih setelah perempuan yang paling ia sayangi itu mengatakan pasal kehamilannya. Dewa marah, Dewa kecewa, rasanya seperti ditikam hidup-hidup. Ia telah gagal.

Setelah melalui masalalu kelam yang ditorehkan oleh keluarganya, haruskah adiknya kembali merasakan luka yang lebih menyakitkan? Kehidupan buruk seperti apa lagi yang akan anak itu jalani kelak?

"Jadi tadi gimana?"

"Adik Elang ternyata kembar, Mas. Kembarannya marah, anak itu dipukuli ter-"

"Mas nggak peduli. Yang mas tanya, gimana keputusan mereka? Apa yang mereka bilang ke kamu?" Dewa mengepalkan tangan. "Mas nggak peduli bahkan mereka saling bunuh sekalipun."

Sebagai orang yang paling bersalah, Cantika hanya bisa menangis dan terus menangis. Meski hati kecilnya menolak segala perbuatan gila sang kakak, tak bisa dipungkiri ia juga membutuhkan keadilan. Terlepas dari akar masalah yang berawal dari dirinya, Cantika hanya wanita biasa yang ingin diperlakukan layaknya wanita.

"Kembarannya nyuruh kita datang malam ini ke rumah mereka."

Sedikit terkejut, Dewa menoleh. "Terus? Kamu iyain?" Amarah pria itu semakin membuncah kala melihat gadis di samping mengangguk. "Cih, anak bodoh. Kamu ngarepin apa dari keluarga berduit kaya mereka? Kita bahkan bisa hilang malam ini juga kalau mereka mau."

"Terus mas mau apa? Udah lah, Mas. Uang yang Elang kasih juga udah cukup buat biaya sampe lahiran. Atau kalau mas mau aku bisa gugurin anak ini sekarang juga."

Dewa buru-buru mencekal saat anak itu berniat melukai perutnya, lagi. Secepat kilat mendekap erat adik sekaligus satu-satunya dunia yang ia miliki. Meski salah, Dewa tak pernah benar-benar marah. Sebab ia mengerti, gadis sepolos adiknya ini akan dengan mudah termakan bujuk rayu laki-laki. Terlebih Elang, yang notabennya tampan dan memiliki segalanya.

"Mas bahkan rela mati demi balas semua perbuatan laki-laki biadap itu, Ka. Dia harus tau, nggak semua masalah bisa selesai dengan uang. Sakit harus dibalas sakit."

***

Untuk pertama kalinya Daffi merasa benar-benar sendiri. Entah takdir buruk seperti apa lagi yang ingin Tuhan limpahkan padanya. Setelah melunturkan kepercayaan keluarga tempo hari, kini semesta kembali merenggut satu-satunya orang yang paling Daffi sayangi. Daffa, remaja itu bahkan belum mau menatap ke arahnya. Membuat Daffi seperti benar-benar berpijak seorang diri. Disudutkan, ditikam oleh tatapan-tatapan menyeramkan.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang