Biarin mereka berasumsi sendiri,
mereka bebas berpendapat.
Yang tau hubungan kita,
cuma gue, lo, sama Tuhan.—Enigma—
"Kalian selesaikan tugas yang saya berikan, saya ke luar sebentar, oke?" ujar Sang Guru Sejarah-Pak Azen.
Serentak satu kelas dengan semangatnya membalas "Baik pak!" Padahal yang mereka lakukan hanyalah bersantai ria, walaupun ada beberapa anak rajin yang menggarap soal yang diberikan guru tersebut. Tak jarang pula para cowok di kelas menata diri untuk main game lewat ponselnya.
"Shaf, lo ikut ke bioskop?" tanya Naza-si panitia nonton bareng satu kelas. "Udah ada boncengan belum?"
Yapss!! Warga kelas XII MIPA 5 mengadakan acara nonton bareng di bioskop kali ini, rencananya mereka akan menonton film horor.
Shafda yang memang tak terlalu suka nonton film horor hanya ikut-ikut saja. Mumpung masih kelas dua belas, kan?
"Udah, sama Anggun. Tapi gue enggak tau pulangnya sama siapa, soalnya dia katanya nggak boleh pulang maghrib," jelas Shafda, membuat Naza menatap sekeliling kelasnya ikut bingung.
"Tenang, Shaf. Sama Rai aja," celetuk Zaki diiringi dengan cengiran khasnya, ia melirik Farel yang duduk di sebelahnya. "Nanti balapan."
"Betul, nanti Shafda kek gini sama Rai," ujar Farel sambil melebarkan kedua tangannya seperti posisi hendak memeluk.
Seketika Shafda bergidik ngeri, sementara Naza tertawa dan ikut menggodanya juga. Memang dasar!
Di sisi lain, sekilas Shafda dapat melihat kawan sekelasnya-Fany tengah gencar-gencarnya meledek Raiden yang kini duduk di bangkunya.
"Shafda," panggil Fany berkali-kali. Tapi bukannya melirik manusia pemilik nama tersebut, Fany malah melihat Raiden dengan tatapan meledek.
Dari ujung sana, Shafda hanya bisa geleng-geleng kepala. Bukan Fany Arabella jika tidak meledek Raiden dan Shafda satu hari saja.
"Nama gue Raiden Ibrahim Al-Faozan," ujar Raiden dari ujung sana, sembari mengayunkan sebuah penggaris plastik di udara bersiap memukul Fany.
Shafda dapat melihat dengan jelas kekehan geli yang ditampilkan wajah cowok itu. Ia sendiri tak tahu Raiden terkekeh karena salah tingkah Fany terus memanggilnya dengan nama Shafda atau ... terpesona karena kelucuan Fany?
Entahlah, apa pun itu Shafda senang melihat Raiden tertawa bahagia seperti itu. Karena saat bersamanya, cowok itu pasti tidak akan bisa tertawa se-ceria itu.
Naza yang masih berada di sekitar Shafda duduk di bangku sampingnya, melirik gadis yang saat ini masih sibuk mengamati interaksi Raiden dan Fany.
"Gapapa jatuh cinta, gapapa naksir sama seseorang, mencintai seseorang itu wajar." Spontan, Shafda melirik Naza. "Karena pada dasarnya, berani jatuh cinta berarti berani bersiap untuk patah hati."
Naza menatap Shafda serius. "Pertanyaannya ... emang lo udah siap patah hati?"
Shafda terdiam sejenak, lalu bertanya, "Menurut lo, Rai suka balik nggak?"
Naza terdiam, otaknya berusaha mencari sebuah kalimat agar gadis itu tak terluka mendengarnya.
"Gini aja, gue ngga bisa nebak isi hati orang. mungkin aja dia suka tapi gengsi, atau ... mungkin dia cuma ngehargain lo yang suka sama dia." Naza menyentuh bahu lembut bahu Shafda. "Semua kemungkinan bisa aja terjadi."
Shafda berusaha mencerna kata-kata Naza barusan, lalu kembali berucap, "Menurut lo gue harus nunggu atau nyerah?"
Naza menghela napas sejenak. "Dia nggak minta lo nunggu, so ... why are you still waiting?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA 2 : Masa Sebelum Kelulusan
Ficção Adolescente-Perlakuanmu masih menjadi misteri bagiku- Tentang Shafda, Raiden dan Exposive. Shafda bukan gadis yang Raiden mau. Sebuah Fakta yang terus terngiang-ngiang di pikirannya. Shafda tahu kenyataan itu, tapi mengapa hati ini tetap menetapkan bahwa Rai...