"Iya, ma. Kayaknya bakal pulang lebih cepet. Nggak tahu nih, Mas Pram nyuruh cepet-cepet pulang."
"Iya, bye Ma."
"Kenapa sama tante ?" Suara Sandy menghentikan pergerakan Mas Juna, pria paling tua di antara saudaranya itu menoleh, lalu menutup telfon yang sempat terhubung dengan sang mama beberapa detik lalu.
"Nanya kabar, soal Riki nangis kemarin ternyata mama tahu jadi khawatir" Jelasnya. "Ini siapa deh yang bocor sama orang tua ?"
"Wahyu ya ?" Zico yang semula sedang mengesap jus jeruknya menoleh pada manusia bernama Wahyu.
Yang di tuduh tak terima, "APA ?!"
"Bukan gue." Tak ada pembelaan lain selain kalimat itu, sebab jujur saja Wahyu sangat lelah selalu menjadi tersangka nomor satu di keluarganya sendiri.
Di kedai kopi yang agak sepi, Mas Juna membawa adik-adiknya untuk bersantai. Minus Riki dan Evano karena mereka tak mau ikut, juga Rendra yang telah pulang lebih dulu.
"Ngomong-ngomong dua hari lagi kita pulang."
"Cepet amat ? Nggak jadi seminggu ?" Zico menimpali ucapan Mas Juna, "Padahal enak disini."
"Kerjaan gue ga bisa di tinggal, gue di kasih libur lebaran dikit doang ternyata. Mas Pram atasan gue udah minta gue balik."
Sandy manggut-manggut. "Itu dua anak mau diajak pulang cepet ?" Dagunya mengarahkan arah pandang mereka ke dua bungsu yang dengan bahagianya memetik strawberry di area kedai-yang memang di khususkan untuk pengunjung.
"Mau, lagian nggak inget lo kemarin Arka juga nangis-nangis nyuruh kita pulang gara-gara Riki nangis ?" Ingatan mereka langsung terlempar pada kejadian memusingkan beberapa waktu lalu, "Gue jadi bingung mau nenangin siapa, Riki diem aja di tanya, Arka nya ribut banget minta pulang aja." Begitu kata Sandy. Seharusnya hidup bersama mereka sejak masih menjadi embrio membuatnya terbiasa tapi ternyata tidak, ia tetap berkunang-kunang ketika menghadapi situasi mendesak seperti beberapa waktu lalu.
"Lagian Riki juga kaku banget jadi orang, apa susahnya sih ngomong kalau dia punya masalah ? Gue nggak akan marah-marah juga."
Yang paling tidak mereka suka adalah ketika satu sama lain saling membisu, mungkin beberapa orang berpikir bahwa diam adalah solusi yang baik ketika masalah sudah berada di puncak tapi untuk seorang Sandy dan Mas Juna yang menganut paham 'pentingnya komunikasi', diam justru menjadi awal masalah baru.
Tidak apa-apa ketika kita memilih untuk menyembunyikan semua masalah pada dunia, tapi tidak dengan keluarga. Sandy dan Mas Juna selalu beranggapan bahwa Tuhan membentuk mereka seperti ini, dengan 9 orang manusia untuk saling merangkul, maka dari itu Sandy betulan tak suka ketika salah satu diantara mereka mendisfungsikan peran keluarga.
"Riki dari dulu kan emang gitu." Kata Zico, tak menampik kalau dari mereka semua Riki paling susah untuk di ajak berbicara.
"Terus dia seolah mikir kalau kita nggak peduli, padahal kita nggak peduli karena kita nggak tahu dia punya masalah, dia nggak cerita. Gue sedih setiap ngeliat dia diem aja tapi gue juga kesel karena dia nggak paham sama dirinya sendiri. Lantas kalau semua orang nggak peduli, dia ngerasa paling sendirian di dunia."
Sembari mematik korek api untuk menyalakan rokoknya, Mas Juna diam-diam setuju dengan ucapan Sandy, "Perlu di getok dulu kepalanya baru tu anak sadar."
Keempat manusia di kedai kopi itu hanya mampu menghela napasnya panjang.
"Gue mau nanya deh." Zico bersuara kembali, lalu matanya menatap dua bungsu yang masih asik memetik strawberry. "Dari lo bertiga, coba spill adik paling lo suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Kencana Putra |Zerobaseone
FanfictionKencana Putra tak pernah tertulis dalam sejarah, tapi ia melegenda dengan ceritanya sendiri. Semua orang bungkam ketika nama itu terdengar. Mengunci pintu rapat-rapat dan tak akan keluar semalaman penuh. Legenda mengatakan ia merenggut setiap nyawa...