"Lo nggak takut, kan?"
"Nggak."
"Oke, jangan hilang dari pandangan gue."
Akhirnya setelah keputusan panjangnya, dan persetujuan dari orang tua. Riki, melakukan perjalanan itu, mendaki gunung dimana ada darah Vicky yang telah menyatu, memberi pengertian pada semua orang, dan membeberkan alasan, juga cara satu-satunya yang mungkin bisa menyelamatkan Evano. Tak hanya sendiri, karena Mas Sandy, Daniel, dan Mas Juna menemani Riki.
"Jalannya cukup sulit tapi it's okay ga sampe menyulitkan banget." Lalu suara Daniel dari arah depan terdengar, ia berjalan mendekati ketiga kakaknya. Ada parang di tangan kirinya yang ia gunakan untuk menebas semak-semak tadi.
"Inget kalo nggak kuat bilang sama, Mas, paham?" Mas Juna menepuk pundak Riki, memastikan kalau adiknya yang baru saja sembuh dari sakit itu memang kuat untuk melakukan pendakian ini. Lalu ia menemukan Riki mengangguk.
"Yaudah yuk, keburu sore."
.
.
.Gunung itu tidak lebih tinggi, hanya memiliki jalur yang sedikit terjal, juga gelap. Biasanya akan ada suara burung atau hewan-hewan kecil yang merayap tapi sepanjang perjalanan, mereka tak menemukan satupun diantaranya.
Riki mengedarkan pandangan diikuti pandangan mata Mas Sandy yang melihatnya, "Kenapa?" Tanyanya, sebab Riki nampak begitu tak nyaman.
"Hah? Nggak. Cuma...., aneh nggak sih?"
"Aneh apanya?"
"Kok bisa sesepi ini, ya?" Karena begitulah yang Riki rasakan, Mas Sandy juga turut mengedarkan pandangan sembari berjalan, "arkh" ia meringis pelan ketika kakinya terpelosok pada sebuah lubang.
"Ti-ati, mas."
"Iya, nggak lihat tadi."
Betul kata Riki, gunung itu terlalu senyap. Tak ada suara lain selain langkah kaki mereka dan gesekan daun yang di terpa angin. Benarkah semati ini? Sandy menerka-nerka, jarak puncaknya masih jauh dan mereka masih berada di seperempat pendakian. Tapi Sandy merasakan jalurnya sangat berat untuk dilalui.
"Ga ada sinyal juga." Semakin berjalan naik, Sandy tidak menemukan sinyal ponselnya berjalan baik, lalu hilang, ia kembali memasukkan ponselnya dalam celana. Fokus meniti setiap jalan yang terasa sedikit licin karena lembabnya udara. Bahkan sinar matahari pun tak mau susah-susah menembus pohon-pohon tinggi yang rimbun. "Lo nggak apa-apa, kan, Ki?"
"Hah– Nggak, nggak apa-apa. Cuma–"
"Cuma kenapa?"
Riki menggeleng pelan, melarikan pandangannya ke mana saja. Sekali lagi, kemana saja. Sebab rasanya ia seperti melihat suatu hal–yang.... sedikit membuat tubuhnya merinding.
"Nggak, nggak. Jalan cepet yuk." Lantas ia segera menggandeng tangan Sandy untuk menyusul Mas Juna dan Daniel yang sudah lebih dulu berjalan beberapa langkah di depan. Tubuhnya sudah terasa aneh, dia menemukan hal yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Ya Tuhan, tidak mungkin...
Jangan pernah menatap matanya, anakku...
Pelan, suara bisikan yang terdengar seperti angin, mengelus bulu leher Riki lantas memasuki indra pendengarannya. Berulang kali ia menelan Saliva, menetralkan pandangan dan detak jantung, sebelumnya ia tak pernah segugup ini, tapi mengapa ini sangat berbeda?
Ia menggandeng tangan Sandy dengan lebih erat, lalu berjalan melangkah lebih cepat lagi.
"Semua...okay?" Sandy bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Kencana Putra |Zerobaseone
FanfictionKencana Putra tak pernah tertulis dalam sejarah, tapi ia melegenda dengan ceritanya sendiri. Semua orang bungkam ketika nama itu terdengar. Mengunci pintu rapat-rapat dan tak akan keluar semalaman penuh. Legenda mengatakan ia merenggut setiap nyawa...