Tanah Gunung ( Throwback off )

511 77 34
                                    

"Kebiasaan banget deh lo, kalo sakit sampe gini panasnya."

"Sorry."

"Masih sakit? Gue ambilin air mau?"

"Nggak usah, pijitin gue aja mau nggak, Van?"

"Mana yang di pijit?"

"Kepala gue."

"Yaudah sini."

"Lo nangis ya pas gue di bawa ke rumah sakit tadi buat periksa?"

"MIKIRLAH! GIMANA KALO LO KENAPA-KENAPA?! GUE SAMA SIAPA?!"

"Lo kan nggak cuma punya gue. Biasanya nempel mulu sama yang lain daripada sama gue."

"Mana ada? Sesering-seringnya gue sama yang lain tetep ajalah kalau sama saudara kandung lebih nyaman."

"Masa?"

"Riki? Jangan tinggalin gue, ya? Lo boleh deh marah-marahin gue, Lo boleh nyuruh gue belajar matematika sampe gue pingsan tapi, jangan tinggalin gue, ya? Gue nggak tau kenapa bayangan nggak ada lo di hidup gue ternyata bikin takut."

"Iya, nggak."

"Janji?"

"Janji?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_______

Kaca jendela yang hampir memenuhi bagian ruang lantai 3 rumah sakit berembun, sehingga pemandangan bawah gedung terlihat samar. Hujan turun sepanjang hari, membuat waktu sore yang seharusnya terasa indah sebab lantai 3 rumah sakit itu mengarah jelas pada sunset menjadi suram. Dingin mulai menyeragap bulu-bulu, di atas brankar rumah sakit Riki terduduk dalam keterdiaman, menatap setetes demi setetes air hujan yang jatuh pada kaca jendela. Sejak dua hari lalu, hobinya berubah menjadi sibuk menatap langit.

Lalu-yang ntah ke berapa untuk hari ini-Riki melepaskan napas lelahnya kembali. Menilik pada jarum yang menusuk saluran Vena-nya. Ngilu, tapi ia tidak bisa apa-apa selain pasrah menunggu infus yang kini masuk ke dalam tubuhnya habis.

Ia tidak terlalu mengingat bagaimana kejadiannya tapi yang pasti 2 hari lalu, mama menangis sembari memegang tubuhnya yang kejang, dan berakhirlah ia disini, di rumah sakit. Ricky yakin ia tidak sakit, hanya.... Mungkin efek perjalanan itu? Sekali lagi, ia menghembuskan napasnya.

Di balik udara dingin yang memantul lewat jendela kaca, Riki mendengungkan kerinduannya pada Evano. Biasanya laki-laki itu akan menjaganya dengan telaten ketika sakit, merelakan diri untuk memijat Riki hingga tertidur tapi, tidak ada Evano sekarang, atau pijatan enaknya yang serupa nyanyian penghantar tidur, kini hanya ada suara hujan di luar, hanya ada dingin, hanya ada dentingan jarum jam, hanya ada--

"Rik?"

Ia memutus lamunannya. Menoleh, mendapati Daniel dan Rendra berjalan memasuki ruangan. Kemudian menatap buah tangan--yang lagi-lagi buah--tanpa minat.

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang