Deru air laut malam menggema pada ujung-ujung langit. Hantaman ombak pada karang menari-nari, meliuk-liuk ke atas lalu terhempas kembali hanyut ke tengah samudra. Petang yang penuh darah, di luasnya daerah pantai Nyai Sriyasih berjalan terseok-seok membawa dirinya untuk berjalan ke tepi pantai. Jariknya penuh dengan darah, darah dari seseorang yang sudah masuk dalam rumahnya.
Ia tak lagi kuasa untuk melanjutkan hidup, hari ini beliau mendapati menantunya menangis histeris sampai tak sadarkan diri-sesuatu yang sudah sering terjadi.
Nyari Sriyasih meratap hatinya sangat teriris sebab menantunya tak sadarkan diri dan ini adalah ulahnya, tapi dirinya tak mampu berhenti. Sejak anaknya tak pulang Gracia harus berjuang tanpa di dampingi suami, lalu melihat wajah cucu-cucunya yang telah lahir ke dunia 3 tahun lalu hancurlah hatinya sebab teringat dengan anaknya yang tak pernah di temukan. Cucunya hidup tanpa seorang ayah.
Lantas yang satu juga tak pernah pulang, perasaannya sebagai seorang ibu begitu lebam dan perih, sekian tahun nurani sebagai ibu itu mati yang tersisa hanya benci. Apa yang ia harapkan dari anak pertamanya itu ? Diederick sudah sangat berbeda.
Suatu malam ketika kerinduan pada anaknya-Vicky-sudah tak mampu di pendam di situlah bisikan penuh petaka merambat pada ruang hatinya.
Nyai Sriyasih menemui dukun, meminta untuk di carikan jalan keluar mencari anaknya-Vicky yang tak pernah pulang. Dengan syarat yang membuatnya tercekik, bahwa beliau harus menumbalkan seseorang untuk mencari jiwa Vicky.
Cara itu memang berhasil, setiap beliau berhasil menumbalkan orang-orang yang menghuni losmennya ( tanah pemberian Tuannya di atas bukit itu sekarang menjadi sebuah losmen ) malamnya ia akan mendapati sosok Vicky di rumah tapi tak berlangsung lama karena setiap purnama sudah diatas kepala, anaknya akan menghilang kembali begitu seterusnya.
Nyai Sriyasih tahu betul bahwa itu anaknya tapi menantunya kerap kali menjerit-jerit setiap malam purnama sudah menunjukkan dirinya seolah ia melihat lelembut.
Dan hari ini Nyai Sriyasih merasa putus asa beliau tidak tahu lagi harus mengadukan diri pada siapa, ia tak punya siapa-siapa. Di depan ombak yang berderu kencang Nyai Sriyasih menangisi hidupnya.
Sudah satu bulan ia berada di tanah Ngayogyakarta mengikuti menantunya yang sejak hamil menjadi sibuk, menggantikan peran Vicky. Mengurusi urusan pemerintahan meski hanya secuil, Gracia menjadi sosok terpandang karena keturunan langsung dari Belanda apalagi setelah ia menyandang nama sebagai menantu Meneer Jong.
Sesak dalam dadanya kian mencuat, beliau mendongakkan kepalanya menatap langit yang gelap pekat.
"Hamba lelah, dimana kuasamu? Apa kau memang betulan ada ?" Rintihnya pelan, menutup mata penuh keputusasaan. Hatinya sebagai seorang ibu memanggil sesuatu.
Sang Hyang Widhi.
Kepercayaannya pada pancipta sama kuatnya dengan kepercayaan bahwa Vicky baik-baik saja dimanapun anaknya bernaung.
Hidup,
Atau...
Mati.
Lalu ketika Nyai Sriyasih melangitkan sebuah doa, ia merasakan angin bertiup begitu kencang dan deru ombak terdengar semakin tinggi. Beliau menaruh kedua tangannya diatas dada, tak lama dirinya mencium wangi bunga kantil yang makin lama tercium semakin kuat.
Wangi bunga kantil yang sangat nyaman, dan Nyai Sriyasih merasa kembali ke masa kecil. Tangisannya makin keras, ia seperti mengadu pada seorang ibu.
"Putriku..." Suara halus membuai pendengaran terdengar.
Nyai Sriyasih membuka matanya yang merah dan membengkak, tubuhnya bergetar hebat. Semua ujung syarafnya kaku tapi ia tidak takut ia hanya merasa sedang pulang. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sepanjang hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Kencana Putra |Zerobaseone
FanfictionKencana Putra tak pernah tertulis dalam sejarah, tapi ia melegenda dengan ceritanya sendiri. Semua orang bungkam ketika nama itu terdengar. Mengunci pintu rapat-rapat dan tak akan keluar semalaman penuh. Legenda mengatakan ia merenggut setiap nyawa...