Tengah malam, Udara di area gunung semakin tak masuk akal. Dinginnya merambat sampai tulang-tulang, membuat ujung kuku-kuku menjadi ungu. Di dalam tenda yang berdiri dengan lampu temaram, Riki dan yang lain terduduk berselimutkan kain tebal, yang memang mereka bawa dari rumah ( jaga-jaga ketika menghadapi situasi seperti ini ) apalagi mereka harus memastikan bahwa Daniel tidak merasakan kedinginan sedikitpun.
Riki mengusap dahinya yang terasa dingin. Setelah sadar dari pingsan, ia menjadi sedikit linglung tapi jelas ia masih ingat apa yang ia lihat meskipun itu samar-samar.
"Lo udah nggak apa-apa?"
Lalu Riki menoleh menatap Mas Sandy yang bertanya, sembari menerima satu cup pop mie yang telah diseduhkan untuknya, "Gue--agak pusing."
"Mas udah boleh nanya, Ki?" Ini suara Mas Juna.
"Boleh."
"Lo kenapa tadi?"
"Gue..." Riki mengedarkan pandangannya, takut seandainya di balik tenda ini ada hal yang mungkin sedang mendengarkan pembicaraan mereka, dengan gerakan pelan, ia merapatkan badan ke depan, diikuti Mas Juna dan lainnya yang juga ikut menundukkan sedikit kepala.
"Ada penjaga di sini." Bisik-bisik itu menghangatkan pendengaran.
"Mas Sandy lihat, kan?"
"Yang bayangan itu?"
"Iya."
Daniel mengangkat satu alisnya, agaknya sedikit meragu dengan penjelasan Riki tapi juga tak mengelak, "Yakin?"
"Beneran."
"Terus?"
"Gue nggak sengaja liat matanya, dan... Yah gitu, kaya yang kalian lihat, gue pingsan. Tapi, gue kaya di ajak Throwback lagi, karena sewaktu pingsan, gue ngeliat Vicky."
"SERIUS?!" Daniel membulatkan matanya, menekan suara agar tak terdengar seperti pekikan. Ia jelas terkejut dengan penuturan itu, Vicky? Apa benar Vicky? Mungkin saja itu Evano? Seperti yang dia alami beberapa waktu lalu?
"Please jangan seneng dulu, gue bingung, gue juga sedih. Gue ngeliat Vicky dibunuh, dan--" ada jeda panjang sebab Riki tengah mengatur napasnya sendiri, pelan, agak sesak dan mengaburkan pandangannya, "Dan gue sakit karena ngerasa gue lagi liat Evano yang dibunuh. Wajahnya muda banget, semuanya mirip. Sayang banget gue cuma ngeliat itu aja, gue nggak tahu setelah dibunuh jasad Vicky dikubur di mana."
"Jadi kita nggak tahu dong bakal ngambil tanah gunung ini di bagian mana?" Sandy memastikan jawaban dan Riki menggeleng, membuat helaan napas Daniel dan Mas Juna terdengar berat bersamaan.
Ya Tuhan, lelah sekali mereka. Sudah berapa lama ini? Dan mengapa rasanya tidak membuahkan hasil apapun? Bahkan papa pun sudah jatuh sakit sebab terlalu lelah bolak-balik gunung di Kencana Putra.
"Kalo ngubur orang, nggak mungkin banget di tanah terjal. Logika aja, Sand coba cari tanah yang lapang di gunung ini di mana? Kalau ragu sama kepastian di mana Vicky dikubur, kita mencar buat ngambil tanahnya. Setiap ada lahan bidang kita ambil tanahnya, soal tanah yang bener yang mana, itu urusan nanti."
"Kita ga punya banyak waktu kalau sampai besok." Daniel bersuara lagi.
"Jadi?"
"Malam ini kita harus bergerak." Lantas Mas Sandy juga tahu kalau waktu mereka betulan tak banyak, semakin lama Evano hilang semakin mustahil juga mereka mampu menemukan anak itu.
"Lo kuat, kan, Ki?" Lagi, Mas Sandy memastikan adiknya itu memang baik-baik saja.
"Ki?"
"Riki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kos Kencana Putra |Zerobaseone
FanfictionKencana Putra tak pernah tertulis dalam sejarah, tapi ia melegenda dengan ceritanya sendiri. Semua orang bungkam ketika nama itu terdengar. Mengunci pintu rapat-rapat dan tak akan keluar semalaman penuh. Legenda mengatakan ia merenggut setiap nyawa...