• LWJM 32 •

16 2 0
                                    

Setelah sesi foto bersama Pak Arga dan anak-anak cowok kelas 9A, kami semua kembali ke titik awal saat semua orang berfoto bersama dengan banner. Pak Mukhlis, beberapa guru, dan beberapa anak sudah ada di sana. Aku dan Ibu Sinar mengambil tempat duduk di bawah pohon yang tidak jauh dari yang lainnya sambil menunggu semua orang lengkap kembali.

Tiba-tiba aku ingin ke toilet. Aku mau buang air kecil. Alhasil, aku izin kepada Ibu Sinar dan Pak Mukhlis untuk ke toilet sebentar.

Setelah selesai dan keluar dari toilet yang tidak jauh dari titik kumpul awal dan akhir kami, aku terkejut karena keberadaan Pak Arga yang tidak jauh sekitar dua langkah dariku. Sepertinya Pak Arga juga mau ke toilet yang ada di sebelah.

Aku dan Pak Arga saling bertukar pandang selama beberapa detik dan langsung diputuskan olehku. Aku pun segera melangkah pergi. Namun, baru tiga langkah berjalan, aku berhenti dan berbalik badan.

"Ehm ..., Pak."

Pak Arga yang hendak masuk ke dalam toilet pun menghentikan gerakannya. Dia menoleh padaku.

"Iya, Bu?" tanya Pak Arga.

Sebenarnya, aku sendiri pun tidak tahu dari mana datangnya keberanianku ini waktu memanggil Pak Arga. Akan tetapi, aku tetap merasa ini adalah situasi yang tepat untuk meminta maaf.

"Saya minta maaf buat yang di bus tadi. Saya gak bermaksud buat Pak Arga malu," ungkapku.

"Ah, soal itu. Bu Sherena gak perlu minta maaf karena saya gak merasa sedang dipermalukan. Malah saya yang harusnya minta maaf sama Bu Sherena karena gak bertanya terlebih dulu alasan Bu Sherena terus menolak makanan dari saya."

"Gak apa-apa, Pak. Sayanya aja yang aneh karena gak suka makanan yang disukai masyarakat pada umumnya."

"Gak apa-apa, Bu. Setiap orang berbeda. Kita gak bisa memaksakan setiap orang buat ikut menyukai semua hal yang kita sukai, tapi saya senang karena Bu Sherena gak marah lagi sama saya," ujar Pak Arga dengan senyum tipis.

"Saya gak marah sama Pak Arga. Saya cuma ... sedikit kesal."

"Sekali lagi, saya minta maaf, ya, Bu. Lain kali saya bakal berhati-hati."

"Iya, Pak. Saya juga minta maaf."

Setelah perbincangan singkat dengan saling meminta maaf tersebut, aku undur diri untuk kembali ke titik kumpul duluan. Tidak lama kemudian, kami semua diberi arahan oleh Pak Ridho lewat toa untuk kembali masuk ke dalam bus karena kami akan segera melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.

Aku membagikan beberapa permen pada Ibu Sinar dan anak-anak kelas 9A yang duduk di dekatku. Ketika anak-anak yang lain menyusul masuk, aku menyuruh salah satu anak cowok membagikan permennya kepada yang lainnya.

Saat Pak Arga masuk, aku kembali bertatapan dengan Pak Arga yang langsung saling memberikan anggukan sekali dan juga senyum seadanya. Setidaknya aku sudah bisa bernapas lega karena hubunganku dan Pak Arga sudah membaik kembali.

Kedua bus pun kembali bergerak. Aku tetap tidak tahu di mana destinasi kedua ini. Aku hanya mengikut saja.

Selama di perjalanan, Pak Yadi selalu karaoke lagu bahasa Jawa yang tidak kumengerti artinya. Sesekali bergantian dengan Ibu Sinar yang memang suaranya sangat merdu. Ibu Sinar mengatakan bahwa terkadang dia punya pekerjaan sampingan sebagai penyanyi di acara-acara pernikahan ataupun keagamaan, seperti rebana.

Aku tidak tertarik untuk bernyanyi karena takut bila aku begitu excited selama di bus, aku akan merasa mual. Alhasil, aku pun memilih untuk tidur sampai kami tiba di destinasi kedua dari Outing Class ini.

• LWJM •

Siapa sangka tempat destinasi kedua kami akan memakan waktu kurang lebih dua jam? Alhasil, kami sampai di tempat ini setelah lewat masuk waktu Dzuhur.

Aku membuka dan memejamkan mataku beberapa kali untuk mengambil kesadaranku kembali. Sebagian anak-anak kelas 9A sudah keluar dari bus bersama guru-guru lainnya. Aku menoleh dan mendapati Ibu Sinar tersenyum ke arahku.

"Nyenyak tidurnya, Mbak? Padahal sound karaokenya lumayan gede, tapi Mbak Sherena gak keganggu sama sekali, ya? Hebat." Ibu Sinar memberikan jempolnya.

Aku menampilkan ekspresi tidak enak. "Maaf, ya, Bu. Seharusnya Ibu bangunin saya aja kalau mau lewat."

"Nggak, Mbak. Saya emang sengaja nunggu Mbak Sherena sampai bangun sendiri."

"Ya, ampun, Bu." Aku merasa tambah tidak enak pada Ibu Sinar. "Kalau gitu, kita keluar sekarang, Bu?"

"Iya, saya ikut Mbaknya aja."

Setelah kami berdua turun dari bus, kedua mataku langsung terbuka sempurna karena terpana dengan pemandangan yang ada di depanku ini. Luasnya hamparan sawah hijau yang jarang sekali kulihat secara nyata membuatku tidak sabar untuk menyusurinya sampai ke ujung.

"Ini di mana, Bu?" tanyaku setelah mendapatkan kembali kesadaranku.

"Tempat ini namanya Lembah Desa Pulutan. Gimana? Bagus, 'kan?"

"Banget, Bu."

Lembah Desa Pulutan merupakan tempat wisata yang ada di Kec. Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Pantas saja sampai memakan waktu kurang lebih dua jam karena inilah destinasi utama kami. Untukku, ini cukup worth it lah.

Aku dan Ibu Sinar menyusul yang lain ke masjid terdekat untuk salat Dzuhur terlebih dulu. Setelah selesai, kami diminta untuk ke tempat makan yang ada di Lembah Desa Pulutan. Aku, para guru, anak-anak, dan dua orang supir bus beserta dua orang asistennya pun mengambil duduk di lantai atau lesehan dan mulai menulis pesanan kami.

Karena jumlah kami yang tidak sedikit, makanan pun diproses dan datangnya cukup lama. Selagi menunggu, aku mengamati pemandangan luasnya hamparan sawah di sekelilingku dengan perasaan yang tenang dan damai. Tidak lupa aku mengambil beberapa foto dari pemandangan tersebut.

Lalu, aku mengamati orang-orang di sekelilingku. Anak-anak kelas 9 sedang mengobrol bersama teman-teman di samping juga di depan mereka dan ada juga yang hanya sibuk sendiri dengan ponselnya masing-masing. Para guru pun sama.

Baru satu minggu bergabung dengan SMPIT Al-Azhar, tetapi sudah banyak hal yang kuketahui dan tidak kusangka-sangka dari hal-hal tersebut. Bila pada murid-murid sekolah atau pada mahasiswa-mahasiswi tentang circle yang sudah menjadi hal yang biasa, tetapi aku tidak sangka circle juga ada pada lingkungan kerja. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Sepertinya aku tidak begitu update tentang bagaimana dunia sekarang bekerja.

Bila dipikir-pikir, dunia sekarang begitu berbeda, tambah kejam. Oleh karena itu, aku pun juga harus pintar-pintar memilih teman yang bukan hanya sekadar singgah atau hanya ingin memanfaatkanku saja dan juga mencari cara bagaimana agar aku bisa bertahan di dunia yang penuh intrik ini. Aku pun juga akan berusaha menjadi orang yang tegas. Aku tidak ingin menjadi orang yang naif atau terlalu baik lagi.

Akan tetapi, aku sadar bahwa aku selalu berkata seperti itu. Namun, hasilnya tetap sama saja. Sepertinya aku yang seperti ini sudah tertanam dalam diriku sejak aku lahir dan tidak akan mudah untuk diubah. Akhirnya, aku pun hanya akan mengikuti alur yang telah dituliskan untukku dan mencoba untuk bertahan sebisaku. Selalu.

Like We Just MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang