Setelah makan siang dan istirahat setengah jam agar makanan tercerna sempurna, guru-guru mengajak anak-anak untuk mengikuti kegiatan bersama, yaitu games. Awalnya, aku hanya ikut membantu Ibu Sinar dan guru-guru lainnya menyiapkan balon yang dibutuhkan sebagai properti dalam games yang dimainkan. Akan tetapi, Satya dan teman-teman lainnya terus berseru agar aku ikut bermain. Karena terus didesak, akhirnya aku pun mengalah dan ikut di tengah permainan.
Sudah cukup lama juga aku tidak merasakan euforia saat bermain games seperti ini bersama orang-orang di sekelilingku. Jujur, sampai detik ini aku masih sangat merindukan masa-masa sekolahku, terutama SMA. Padahal aku sudah sangat menantikan bagaimana perpisahan dan sedihnya berpisah dengan teman-teman SMA-ku waktu itu. Akan tetapi, kami malah lulus tanpa bertemu ataupun ada ceremonial sama sekali.
Yang awalnya sekolah mengatakan libur dua minggu, akhirnya menjadi berminggu-minggu sampai kelulusan kami. Aku dan teman-temanku juga sedih dan menyayangkan akan hal itu. Namun, mau bagaimana lagi? Kami hanya bisa ikhlas.
Aku yang kalah di tengah-tengah permainan menjauhkan diriku dan kembali ke tempat awal di mana aku berkumpul bersama Ibu Sinar dan guru-guru lainnya.
"Seru, Mbak?" tanya Ibu Sinar.
Aku terkekeh. "Lumayan, Bu."
"Mbak Sherena jadi nostalgia, ya?"
"Banget, Bu. Kayaknya inner child saya belum terpenuhi," candaku.
"Haha ... nggak, Mbak. Kita walaupun udah bukan anak-anak atau remaja lagi, ketika bertambah usia bakal tetap punya rasa kangen sama masa kecil. Jadi, gak apa-apa kalau sesekali melepas rindu dengan bermain-main kayak gini. Kapan lagi, 'kan, Mbak?"
"Iya, ya, Bu. Kalau gitu, saya gak bakal menyia-nyiakan kesempatan kayak gini lagi nanti."
Aku menonton permainan yang masih berlanjut itu sampai selesai. Sesekali aku tersenyum atau terkikik geli melihat tingkah beberapa anak kelas 9 yang menarik perhatian. Hm, rasanya menyenangkan.
Setelah permainan berakhir, aku dan Ibu Sinar memisahkan diri untuk berjalan-jalan melihat sekeliling sambil mengambil foto. Kami pun duduk pada dua ayunan kosong yang tidak jauh dari tempat kami berdiri sebelumnya.
Ibu Sinar memegang sebuah balon berwarna merah muda sisa permainan tadi, lalu memintaku untuk memfotokannya dari samping. Kami berdua begitu asyik sendiri sampai tidak menyadiri Pak Wisnu menghampiri kami.
Aku yang menyadari duluan, lalu barulah Ibu Sinar ikut menoleh.
"Pak Wisnu, kok, gak ngomong kalau di sini?" tanya Ibu Sinar.
Pak Wisnu hanya tersenyum. "Sini, saya ambil foto berdua."
"Oh, boleh, Pak. Ayo, Mbak."
Aku hanya mengikut saja dan tersenyum seperti biasanya menghadap ke arah kamera yang dibidik oleh Pak Wisnu.
Terkadang aku menyadari bahwa Pak Wisnu begitu pendiam dan tenang. Meskipun biasanya hanya tersenyum yang menenangkan, tetapi entah kenapa aku memiliki perasaan was-was pada guru laki-laki itu. Jadi, aku pun belum pernah berbicara dengan Pak Wisnu.
Setelah mengambil beberapa foto, Pak Wisnu mendekat untuk memperlihatkan hasil bidikannya. Aku tidak terlalu peduli dengan hasilnya karena aku jarang sekali mengambil foto. Akan tetapi, kenapa Pak Wisnu memperlihatkannya dari sisiku? Bukannya sisi Ibu Sinar yang sudah pasti yang paling antusias untuk melihat hasil fotonya?
Berada di tengah-tengah Ibu Sinar dan Pak Wisnu membuatku merasa sangat tidak nyaman. Aku ingin berpindah tempat, tetapi sayangnya posisiku yang sedang duduk di ayunan mempersulitku. Dengan hati-hati aku sedikit memberikan jarak dari Pak Wisnu. Di dalam hati aku berharap Pak Wisnu segera pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Just Met
Teen Fiction⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- Baru di semester 5 merasakan kuliah offline dan baru 4 bulan menjadi anak rantau, Sherena lolos program Teaching in School angkatan 6 setelah iseng mend...