Aku mengunci pintu kamar kosku, lalu berjalan ke bawah. Langkahku memelan ketika mataku tidak sengaja melihat Awal juga baru turun dari tangga kosnya. Cowok itu pun melihat ke arahku.
"Sher," panggil Awal.
"Hm?"
"Kamu mau pergi juga? Mau bareng sama saya?" tawar Awal.
"Gak usah. Aku bisa sendiri," tolakku halus.
"Sorry, ya, buat chat tiba-tibanya kemarin. Saya lagi iseng chat-in semua nomor yang ada di grup Warung Bu Endang buat nyari nomormu."
Aku membulatkan kedua mataku, tidak percaya. "Kamu gila? Kamu chat-in semua nomor yang ada? Terus, kamu nanyain 'ini nomornya Sherena, bukan?' gitu?"
Awal langsung menggeleng. "Nggak gitu. Saya merasa tau aja gimana respons kamu kalau ada nomor baru yang nge-chat kamu. Jadi, yang bukan nomor kamu itu, responsnya pada beda."
"Beda gimana?"
"Hampir semua yang udah saya chat-in itu, mereka jawabnya pakai bahasa Jawa. Sedangkan cuma kamu yang pakai bahasa Indonesia. Jadi, gampang aja buat tau kalau itu kamu." Awal tersenyum bangga.
Entah kenapa di mataku senyum itu membuatku kesal. Aku memang tidak bisa berbahasa Jawa. Mungkin hanya beberapa kata dasar dan yang sering kudengar saja yang kuingat, seperti nggih, monggo, ayu, lanang, dan wedok. Mau bagaimana lagi? Teman dekat dan teman-teman kampusku kalau bertemu pasti berbicara bahasa Indonesia. Jarang sekali memakai bahasa Jawa. Jadi, mau belajar pun, sepertinya harus saat memiliki waktu yang memang benar-benar ingin mempelajarinya. Untuk sekarang, aku hanya belajar dari apa yang kudengar dan kutanyakan artinya.
Apa Awal meledekku karena tidak bisa berbahasa Jawa? Awas saja cowok tengil itu.
"Emang mau buat apa nomorku?"
"Pengin punya nomormu aja. Kan, aneh kita udah kenalan lama, tapi gak punya nomor masing-masing. Siapa tau suatu saat nanti kamu butuh saya, 'kan?" kata Awal dengan percaya dirinya.
"Dih, geer banget. Aku jarang, tuh, yang namanya butuh cowok."
"Walaupun jarang, pasti kamu bakal tetap butuh nantinya."
"Ya, ya, terserah. Udah, ah. Nanti telat aku," kataku setelah mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Aku baru saja berbalik, tetapi suara Awal menahanku.
"Bareng saya aja, Sher."
"Gak usah. Aku beneran bisa sendiri, kok," tolakku lagi.
"Iya, saya tau kamu bisa sendiri, tapi jangan suka nolak kebaikan orang. Kamu gak pernah mikirin perasaan orang yang kamu tolak kebaikannya?"
SKAKMAT. Aku merasa seperti baru saja diceramahi oleh orang tuaku sampai aku tidak bisa menjawab lagi. Terkadang aku melihat Awal memiliki aura orang dewasa di dalam diri cowok itu. Tubuh dan wajahnya memang terlihat seperti anak kuliahan, tetapi bisa saja usia cowok itu tidak sama denganku atau kating-katingku.
"Masih mau nolak lagi?" tanya Awal.
"Y-yaudah. Aku, kan, nolak karena gak mau ngerepotin dan punya hutang budi sama kamu. Kali ini aja, ya?" Nada suaraku kubuat seperti biasanya. Tidak sewot, kesal, atau yang lainnya.
"Gak ngerepotin, Sher. Sama saya santai aja. Saya ngelihat kamu udah kayak adik cewek sendiri. Jadi, saya kadang gak tega ngelihat kamu pergi ke mana-mana sendiri. Apalagi setelah kejadian malam itu," ujar Awal.
Aku tidak tahu mau bereaksi seperti apa lagi. Alhasil, aku hanya mengucapkan terimakasih dan meminta Awal untuk segera berangkat. Anehnya, Awal memiliki satu helm khas cewek yang terlihat masih baru. Padahal selama ini aku tidak pernah melihat Awal mengendarai motor ataupun terlihat bersama dengan seorang cewek. Apa Awal memang sengaja membeli helm baru untuk dipakai olehku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Just Met
Teen Fiction⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- Baru di semester 5 merasakan kuliah offline dan baru 4 bulan menjadi anak rantau, Sherena lolos program Teaching in School angkatan 6 setelah iseng mend...