Kala rintik jatuh dari hamparan cakrawala hitam, menembus celah setiap inti bumi. Huh, dingin sekali malam ini. Setelah hujan mengguyur sedari maghrib tadi.
Dentingan halus terdengar dari piring dan sendok yang beradu di atas meja makan. Keluarga Kyai Daris sedang menikmati makan malam selepas solat isya barusan.
Kaizan dan Kaivan terlihat khusyuk melahap makanan di hadapan masing-masing. Sedangkan Kyai Daris entah mengapa sibuk memandangi wajah Kaizan, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan.
Tak lama setelah itu, Kaizan menepikan piringnya. Meraih gelas dan meneguk air putih di dalamnya sampai habis, "Kaiz udah selesai, permisi duluan ya Ayah ke kam--"
"Sebentar, ada yang harus Ayah bicarakan," Benar saja, ada niat tersembunyi di balik tatapan Kyai Daris sedari tadi.
Kaizan mengangguk dengan sopan, mengurungkan langkah yang hendak berlalu. Justru malah Kaivan yang merasa heboh, suapannya langsung terhenti kala sang Ayah mengatakan ada yang harus dibicarakan.
"Emang ada masalah ap---"
"Kamu segera selesaikan makan malam, setelah itu masuk ke dalam kamar," belum sempat Kaivan menyelesaikan kalimatnya, sudah diserang duluan oleh sang Ayah.
Langsung saja Kaivan menatap jengkel Kyai Daris, "Aku juga anak Ayah loh."
Kyai Daris memutar malas bola matanya, selalu kewalahan menghadapi kelakuan sang putra bungsu, "Ayah cuma ingin membicarakan masalah pesantren," balas Kyai Daris mencari aman saja, padahal sebenarnya ingin membahas pernikahan Kaizan. Sengaja tak jujur kepada Kaivan, karena sudah paham betapa jahilnya seorang Kaivan.
Merasa tidak ada yang menarik, apa lagi sudah berbau pesantren, Kaivan menuruti perintah sang Ayah untuk segera naik ke kamar atas.
Sepeninggalan Kaivan, sang Ayah memberitahukan kepada Kaizan bahwa besok akan diadakan acara pertemuan keluarga kecil-kecilan untuk membahas masalah pernikahan Kaizan dengan seorang perempuan yang entah siapa.
Kaizan yang memang tak berani melawan pun mengiyakan saja apa kata sang Ayah. Padahal jika boleh jujur, sungguh ia belum siap untuk menikah. Tapi apa boleh buat, sang Ayah kerap memaksa dengan alasan memperkuat hubungan pesantren.
Tak berapa lama berbicara dengan Kyai Daris, Kaizan beranjak menuju kamarnya dengan perasaan campur aduk. Dan perasaan itu semakin bertambah kacau setelah melihat ada Kaivan yang sudah terkapar pulas di sana. Bukannya masuk ke kamarnya sendiri, malah melipir ke kamar sang Abang.
Kaizan menghela napas, kemudian berjalan menghampiri Kaivan yang sudah tidak sadarkan diri sekalipun gempa bumi mengguncang.
"Kapan kamu dewasa," Kaizan bergumam lirih, bersamaan dengan ia yang memakaikan selimut kepada sang Adik. Bisa dilihat dari sorot mata itu, jika Kaizan teramat menyayangi Kaivan, saudara kembarnya.
Larut dalam pikirannya yang sudah entah kemana-mana, Kaizan memilih beranjak dari kamar miliknya sendiri. Dan berniat bertukar kamar dengan Kaivan untuk malam ini saja. Padahal tadi niat Kaivan mendatangi kamar itu adalah tidak lain hanya supaya bisa bercerita dengan sang Abang.
***
Pagi meyapa, hujan semalam sudah sepenuhnya mereda. Namun aneh karena sang arunika tak menapak di langit timur sana.
Kaizan sangat tampan dengan balutan jubah polos berwarna cokelat susu. Sepagi ini sudah bersiap diajak sang Ayah untuk menemui calon istrinya.
Namun secepat-cepatnya Kaizan dan sang Ayah beres, lebih cepat lagi Kaivan yang sudah berangkat sekolah sedari tadi. Hm, tumben sekali.
Tak berlama-lama, mobil Kyai Daris keluar dari garasi. Siap meluncur menuju rumah sang calon besan.
Srep--- beberapa menit setelah mobil mereka berjalan, tiba-tiba ada mobil lain yang mengekor dari belakang. Mobil itu tampak menjaga jarak, sengaja menyusup diam-diam.
Siapa lagi pelakunya jika bukan Kaivan. Alih-alih berangkat sekolah, ia malah sibuk membuntuti mobil sang Ayah. Hm, sepertinya akan ada kekacauan besar yang ia perbuat nanti di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Kembar
Teen FictionBercerita tentang seorang kyai yang memiliki putra kembar dengan segala kepribadian berbeda.