Mulai Ada Rasa?

93 9 0
                                    

Jarum pendek menunjuk di angka 20.00 WIB. Malam sangatlah cerah. Rembulan mengintip malu di sebalik pohon nyiur. Ribuan bintang gemerlapan di hamparan cakrawala hitam.

"Mau ngapain sih malam-malam begini ke ponpes," suara itu terdengar malas dan sedikit menggerutu.

"Udah, ikut aja. Jangan banyak protes!"

Setelahnya, sambungan telepon langsung dimatikan.

Itu adalah Kaivan, sedang memaksa Regan agar ikut menemaninya ke pesantren Kaizan.

Bukan karena hal penting ia menggerutu ingin ke sana, melainkan sekedar penasaran dengan apa yang akan dilakukan Gus Kaizan dan Alsya di saat begini. Terlebih di siang tadi ia sempat mendengar rencana makan malam Alsya dan Gus Kaizan. Ada apa dengannya, apa ini salah satu bentuk rasa kecemburuan?

Bukan Kaivan namanya jika tak hobi menyiksa Regan. Akhirnya .. atas dasar paksaan, anak itu akan turut andil menemaninya ke pesantren.

. . . Di koridor ponpes, Alsya berjalan riang seraya bersenandung kecil. Terlihat jelas sekali jika suasana hatinya sangat bagus sekarang. Tentu saja, karena ia dan Gus Kaizan ada janji makan malam bersama di malam ini.

Srep-- kepala gadis itu tiba-tiba tersentak kasar ke belakang.

"Heh, santri baru!"

Mutia muncul bersama pasukannya. Semua wajah itu sudah seperti serigala yang ingin menerkam saja.

"Plakkk . . . !"

Dengan ringannya tangan Mutia mendarat di wajah Alsya, "Ini hadiah yang pantas buat perempuan gatal seperti kamu."

Alsya mematung, semuanya terlalu panik dan rumit baginya. Sama sekali ia tidak mengerti dengan situasi macam apa ini. Bahkan perempuan yang menamparnya tidaklah ia kenal.

"Heh, dengar ya kamu! Gus Kaizan itu calon suaminya Mutia, jadi .. kamu gak usah sok kegatelan. Dasar perempuan murahan, perempuan jalang, perempuan malam!" salah seorang teman Mutia menjambak kasar rambut Alsya sampai kerudung anak itu terlepas.

"Dasar gak tau diri . . !!"

Brugh-- mereka mendorong Alsya sampai terlempar ke lantai.

"Ini akibatnya kalau kamu macam-macam!!" Mutia menginjak jemari Alsya yang bertumpu di lantai dengan sepatu kotornya.

"HEH, ANAK ANJING .. !!"

Yang tak disangka-sangka pun terjadi, Kaivan tiba-tiba muncul dan langsung berlari kesetanan ke arah keributan, "Minggir!" ia mendorong tubuh Mutia agar menjauh dari Alsya.

Cekrek .. cekrek,

Regan mengambil foto satu-persatu wajah yang ada di situ.

"Kamu gak apa-apa? Mana yang sakit? Eh.. bukan, kita ke rumah sakit sekarang," ucap Kaivan panik dan memburu, sembari menggendong Alsya ke dalam pelukannya.

Gadis itu pun menurut saja, bahkan memegang erat lengan Kaivan. Sepertinya ia terlanjur sangat malu sekarang.

"Urusan kita belum selesai ..!" tukas Kaivan dengan tatapan dingin ke arah Mutia dan semua temannya.

"Simpan foto itu, Regan," lanjutnya mengakhiri, lalu berjalan cepat membawa Alsya.

"Kamu masih sanggup naik motor?" tanya Kaivan saat mereka sudah tiba di parkiran. Pun, Alsya menggeleng pelan seraya menatap sayu wajah Kaivan.

Tanpa pikir panjang, Kaivan lekas berjalan membawa mantan istrinya itu ke tepi jalan sana. Berharap akan ada taxi yang segera melintas.

"Kita ke rumah aja," lirih Alsya terdengar lemah.

"Gak, luka kamu harus diobati dulu."

Alsya menggeleng dan memejamkan matanya, " Aku mau istirahat."

Kaivan bisa apa jika Alsya sudah berkata demikian. Malam ini ia akan membawa Alsya pulang ke rumah mereka saja tanpa memperdulikan ceramah apa lagi yang akan ia dapat dari sang ayah.

. . .  Setibanya di rumah, Kaivan langsung membawa Alsya masuk ke dalam kamarnya. Rumah itu kebetulan sudah sepi.

"Tunggu bentar ya, aku ke dapur dulu ambil air hangat."

Srep-- Alsya tiba-tiba menahan tangan Kaivan. Pemuda itu menoleh dan seketika jantungnya berdebar kencang.

"Makasih ya," lirih Alsya diiringi senyum hangat.

Kaivan balas mengangguk samar dan sedikit menyumbang senyum. Setelahnya, ia bergegas berlari kecil menuju dapur.

Sementara itu, Gus Kaizan baru saja keluar dari ruangan salah seorang ustadz, ada yang perlu mereka bahas. Sekarang ia berniat mencari Alsya, tanpa tahu apa yang sudah terjadi dengan perempuan itu barusan.

Kaivan mulai mengobati luka-luka memar yang ada di wajah dan jemari Alsya, sesekali ia meniupnya agar Alsya tidak terlalu merasa kesakitan. Sungguh, sama sekai tak dikira jika Kaivan memiliki sisi lembut dan perhatian seperti ini.

"Pindah aja dari sana, kamu gak bakal aman. Kaizan juga gak bakal bisa jagain kamu kayak yang kamu bayangkan," tutur Kaivan pelan, memecah keheningan.

Alsya tak menjawab, ia hanya menunduk tanpa berani menatap wajah Kaivan sedikit pun. Sepertinya ia terlalu malu.

"Perempuan yang tadi namanya Mutia, calon istri Kizan. Tapi perjodohan mereka udah lama batal juga sih, bisa dibilang kalau mereka emang gak ada hubungan apa-apa lagi."

Alsya sontak menatap Kaivan dengan wajah terkejut, "Calon istri?!"

"Hm," Kaivan mengangguk antusias.

"Makanya aku bilang pindah aja dari sana, ngeri tau bully di pesantren, bisa sampe ada yang meninggal. Kalau kamu malu buat balik lagi ke sekolah lama kamu, kamu bisa pindah ke sekolah aku."

Alsya lagi dan lagi tertegun dengan kalimat yang dilontarkan Kaivan, "Emang kamu gak keberatan kalau aku pindah ke sana?"

"Loh, ngapain. Itu kan sekolah terbuka buat semua orang."

"Kalau aku ngerepotin kamu di sana, gimana?"

"Ya, sebisanya aku bantu. Tapi diusahakan jangan sampai ngerepotin."

"Ch..," dengus Alsya tak bisa menyembunyikan tawanya.

"Ng-ngapain ketawa," sambar Kaivan mendadak salah tingkah.

"Makasi yah, Kaivan. Aku berhutang besar sama kamu," tutur Alsya lembut. Untuk kali pertamanya ia menyebut langsung nama Kaivan di hadapan orangnya.

"Udah, santai aja," Kaivan mendadak berdiri dari tempat duduknya bersama dengan raut wajahnya yang sudah tak karuan.

"Kamu istirahat, aku mau keluar dulu."

Srep-- untuk kedua kalinya Alsya menahan tangan itu.

Kaivan menoleh, seluruh darahnya kian berdesir.

"Mau ke mana?" lirih Alsya seakan enggan jika Kaivan jauh darinya.

"A-aku mau ketemu Regan bentar, mau urus kejadian yang tadi. Mereka gak bisa seenaknya lolos gitu aja."

"Kalau aku minta kamu gak usah pergi, apa kamu mau?" ucap Alsya tak terduga. Netranya tak ter-artikan kala menatap wajah Kaivan.

Anak muda itu terdengar menghela napas begitu berat, mengurungkan langkahnya dan kembali duduk di sebelah Alsya.

Ceklek-- pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan Kyai Daris muncul dari baliknya.

Kedua matanya langsung membulat sampai ingin keluar ... mendapati pemandangan di dalam kamar itu.

"KAIVAN! BERANI-BERANINYA KAM..."

"Ayahhh," Alsya secepat kilat berdiri dari tempat tidur saat tangan Kyai Daris sudah melayang hendak menampar wajah Kaivan.

"Alsya?!" sontak Kyai Daris terkejut melihat Alsya berdiri di hadapannya. Untung saja ia masih bisa mengendalikan pukulan itu.

"Astaghfirullah! Apa yang sudah kalian perbuat di kamar ini. Sedari kemarin Ayah sudah bilang kalau kalian mau rujuk kasih tau Ayah biar Ayah urus semuanya."

"Ayah!" Kaivan akhirnya buka suara, tak tahan lagi.

Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang