Akuji

124 13 2
                                    

Sudah cukup lama Kaizan memperhatikan tingkah aneh adiknya di bawah pohon besar, sekarang langkahnya hendak mengayun menuju arah sana.

"Gus,"

Belum sempat melangkah, muncul seorang santriwan menepuk bahu Kaizan.

Gus muda itu menoleh cukup terkejut, "Eh, kamu ternyata," cemasnya mereda setelah melihat siapa sosok yang memanggilnya itu.

Dia adalah Lutfi, sahabat Kaizan sedari kecil. Orangnya berperawakan tinggi, proporsi tubuh lumayan berisi. Namun yang tak kalah penting, wajah dan senyumnya manis sekali.

"Kok kayak ketakutan gitu Gus, ada apa?" celetuk Lutfi kemudian setelah melihat bagaimana Kaizan menyikapi sapaannya barusan.

"Oh, enggak kok. Cuma kaget aja dikit," alibi sang Gus dengan raut wajah tak menentu.

Lutfi tertawa kecil dan percaya saja. Lagian apa yang perlu dikhawatirkan dari seorang Gus Kaizan, pikirnya.

"Ayo masuk kelas, ngapain berdiri lama-lama di sini," sambung Lutfi menarik tangan Kaizan.

"Eh .. eh, tunggu! Kamu duluan aja Fi, aku mau nyamperin Ka ..," kalimat Kaizan langsung terhenti setelah melihat ke arah pohon besar itu tidak ada lagi Kaivan.

"Loh!" lirihnya terlihat panik.

Lutfi jelas semakin kebingungan melihat tingkah Kaizan di pagi yang cerah ini "Kenapa sih, Gus?"

"Oh, i-itu. Enggak kok, gak ada apa-apa. Ayo masuk kelas," Kaizan dengan langkah terburu-buru berjalan mendahului Lutfi. Kelihatannya memang sengaja mengalihkan keraguan Lutfi.

"Lah," Lutfi menggaruk bingung kepalanya yang tak gatal, merasa sangat aneh.

"Gus, tungguuu," teriak heboh Lutfi dari belakang sana. Mau tak mau harus mengikuti Kaizan meskipun sedang dihantam rasa penasaran.

**

Kaivan dan santriwati cantik itu masih berada di lingkungan ponpes. Kini keduanya berjalan menyusuri jalan setapak yang terlihat lurus. Pemandangannya sangat indah, sepanjang jalan ditumbuhi bunga dengan berbagai warna dan bentuk.

"Kamu suka tempat ini?" tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan suaranya.

Kaivan tersenyum hangat, "Suka," ucapnya singkat seraya melirik sekilas wajah santriwati yang berjalan sejejer di sebelah kanannya.

"Kamu sering main ke sini ya pasti," lanjut Kaivan mencoba mencairkan suasana.

"Ini rumahku," ucap gadis itu tak terduga.

Langkah Kaivan langsung tersentak, "Rumah?"

Gadis itu tak menjawab, ia hanya menyumbang senyum manis dan berjalan cepat mendahului Kaivan.

"Kok rumah sih, di sini kan gak ada rumah," gumam Kaivan bingung sendiri.

"Rumah apa heiiiii?" teriaknya ceplas-ceplos sambil berlari mengejar perempuan yang sudah berjarak beberapa meter di depannya.

Bukannya menjawab, ia malah semakin tersenyum. Menghentikan langkahnya dan membiarkan Kaivan menyusulnya.

Srep ... tiba-tiba ia mengulurkan tangan ke hadapan Kaivan yang baru saja menghampirinya.

Kaivan kebingungan, namun tetap menjabat uluran tangan itu.

"Akuji," ucap gadis itu singkat.

Kaivan mengernyitkan dahinya semakin bingung. Namun tak ingin lagi bertanya karena sudah pasti tak dijawab. Irit sekali dia bicara, pikir Kaivan.

"Namaku Akuji," gadis itu akhirnya memperjelas, seakan paham dengan kebingungan Kaivan.

Seketika senyum Kaivan langsung merekah sempurna, "Nama yang bagus," tanggapnya dengan pipi sedikit merona.

Hm, andai saja ia tau jika nama itu berarti kematian.

"Akuji, aku boleh minta sesuatu yang bisa dihubungi dari kamu," sambung Kaivan merasa berbunga-bunga.

Sekarang giliran Akuji yang menatap kebingungan, "Maksudnya?"

"Nomor WhatsApp misalnya, biar kita enak ngob ..."

"Aku gak punya, dan aku harus pergi," gadis itu berlari secepat kilat meninggalkan Kaivan yang masih merasa terbang ulah sikapnya barusan.

"Loh .. Loh, heiiii!" teriak Kaivan tak terima ditinggal begitu saja.

Akuji tak menggubris, larinya semakin cepat bak angin yang melintas.

"Waktunya solat duha, diharuskan semua santri menuju tempat ibadah,"

Itu adalah bel otomatis dari ponpes, sebagai alarm pengingat untuk waktu-waktu tertentu.

Kaivan yang mendengar bel itu langsung berbalik arah menuju gedung ponpes, ia akan ikut solat. Lagian itu pondok pesantren milik Ayahnya, ia sudah menganggapnya seperti rumah sendiri. Baik para santri maupun tenaga pengajar semuanya hampir mengenal siapa Kaivan.

"Oh iya, si Akuji pasti mau solat tadi makanya lari cepat gitu," batin Kaivan menyelidik. Mulai melangkahkan kaki menuju gedung ponpes.

"Namanya unik. Aish, kenapa dia imut banget," lanjutnya membatin salting di sela ayunan langkah kakinya.

Gus KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang